Tiga Prajurit Tewas di Papua, Jokowi Diminta Ganti Panglima TNI

Tiga Prajurit Tewas di Papua, Jokowi Diminta Ganti Panglima TNI

Berita Terkini - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menyoroti tewasnya tiga prajurit TNI yang diserang oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

Tiga prajurit TNI itu diserang oleh KKB saat melaksanakan pengamanan dalam rangka proses pergeseran pasukan untuk pengamanan dan pembangunan infrastruktur Trans Papua Wamena-Mumugu, pada Kamis (7/3/2019). 

Pangi menegaskan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto harus bertanggung jawab terhadap tewasnya tiga prajurit itu. Dirinya pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengganti mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) tersebut. 

"Kalau Pak Hadi enggak sanggup, ya, harus diganti. Jangan sampai lebih banyak makan korban. Ya memang Jokowi harus evaluasi," katanya kepada wartawan, Selasa (12/3/2019).

Terlebih, sangat menyedihkan seorang Panglima TNI  dengan teganya mengeluarkan statement bahwa menangani Separatis Bersenjata tak harus bertempur. 

Pernyataan ini, kata Pangi, pasti sangat menyakitkan seluruh rakyat Indonesia, termasuk keluarga 31 orang korban tewas pembantaian di Papua berikut keluarga  korban prajurit TNI. Juga, bertolak belakang dengan statement Panglima Hadi yang meminta Prajurit TNI menyiapkan Perang Kota terhadap ancaman Teroris.

Menurutnya, sangat terlihat Panglima Hadi gamang dalam bertindak. Kegamangan seorang pemimpin inilah yang  mengakibatkan prajurit menjadi korban.  

Latar belakang Panglima TNI dari Angkatan Udara, nilainya, menjadi permasalahan untuk menyelesaikan kasus KKB di Papua.

Apalagi, katanya, Marsekal (Purn) Dwi Badarmanto pernah menyampaikan, Panglima Hadi hanya pilot angkut pesawat kecil Casa. Pengalamannya hanya sebatas sebagai Kepala Satudtani AU (Satuan Udara membantu Kementerian Pertanian) yang betugas membasmi hama, bukan membasmi separatis bersenjata.

Pengalaman militer yang minim itu terlihat kala Panglima Hadi beberapa kali tidak mampu mengonsolidasikan TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara sendiri. 

Munculnya wacana penempatan perwira TNI aktif di jabatan sipil juga karena Hadi tak mampu mengonsolidasikan internalnya di Mabes TNI, dengan mengutamakan promosi jabatan untuk angkatannya (86) semata-mata. 

"Loyalitas itu kan tergantung dari kepemimpinan. Kalau Jenderal Jusuf, Try Sutrisno, Endriartono Sutarto, Gatot, Moeldoko misalnya, kan mereka bisa memimpin bawahannya semuanya. Kalau sekarang ini kan terkesan TNI enggak ada Pemimpin," tutur Pangi.

Karena itu, menurut Pangi, saat ini TNI Angkatan Darat dinilai lebih mampu menyelesaikan permasalahan separatis ketimbang dari matra lainnya. Kalau dipaksakan dari Angkatan Udara perlu di cari yang mempunyai pengalaman penugasan operasi, paling tidak menjadi Komandan Skadron Tempur, atau pernah menjadi Panglima Koops, sehingga lebih memahami tugas pokoknya, lebih memiliki naluri tempur, lebih punya empati kepada prajurit di bawah. 

"Panglima TNI memang tidak ada yang lebih baik dari Angkatan Darat (dalam menangani separatisme). Dia lebih menguasai lapangan, mapping zona pertempuran lebih paham. Paham timing kapan harus berdamai dan lainnya. Nanti kalau sudah stabil, baru kembali bergiliran secara periodik," tandasnya.

Dalam hal ini, DPR dapat menggunakan kewenangannya meminta pertanggungan jawab Pemerintah dan Panglima TNI, bahkan DPR mempunyai kewenangan mengusulkan penggantian Panglima.

"Jangan karena mendekati Pemilu, Presiden tidak berani mengganti Panglima, apakah harus menunggu korban jiwa bertambah. Kalau Panglima Hadi masih dipertahankan,  justru bukan tidak mungkin popularitas Presiden yang sudah baik ini akan menurun drastis menjelang Pemilu," tutup Pangi. [ts]