Payung Erotis Rezim Otoriter dan Kematian Gerakan Mahasiswa

Payung Erotis Rezim Otoriter dan Kematian Gerakan Mahasiswa

Oleh : Hersubeno Arief

Jika Anda sempat berkunjung ke kota Yangon, Myanmar pada awal tahun 90-an, ada satu pemandangan yang sangat khas di Danau Inya. Payung-payung besar berderet di sepanjang tepian danau terbesar di kota Yangon itu.

Tidak semua payung berukuran besar. Ada juga dua payung kecil yang dijadikan satu. Fungsi payung itu bukan untuk berteduh, namun untuk menghalangi pemandangan dari arah belakang.

Di balik payung-payung itu pasangan muda-mudi “hanya” mengenakan sarung —pakaian nasional Myanmar— asyik bermesraan. Mereka seakan tak peduli dengan pasangan lain, walaupun jaraknya berdekatan. Seolah sudah tahu, sama tahu.

Jangan sekali-kali mengganggu mereka. Kawasan ini diawasi dengan ketat oleh rezim junta militer yang berkuasa. Letaknya sangat strategis. Di pinggir jalan utama, antara pagoda Shwedagon dengan Yangon University. Pusat gerakan para pengunjukrasa.

Inilah cara rezim mengalihkan energi mahasiswa agar tidak lagi berunjukrasa menentang junta militer. “Silakan bercinta sesuka hati dan sepuasnya, asal jangan berunjukrasa,” tampaknya begitulah prinsip rezim penguasa.

Payung, dan sarung adalah paduan yang sempurna untuk mengalihkan fokus perhatian mahasiswa dari persoalan politik.

Junta militer di Myanmar mempunyai pengalaman dan sejarah panjang menghadapi gerakan unjukrasa dimotori mahasiswa. Berkuasa sejak tahun 1962 di bawah kendali Ne Win, seorang jenderal keturunan Cina, mereka berkali-kali berhasil mematahkan unjukrasa besar-besaran. Barangkali Kalau sekarang disebut sebagai people power.

Tak lama setelah berkuasa pada tahun 1962 Ne Win memadamkan aksi mahasiswa dengan jalan kekerasan. Salah satu pidatonya yang terkenal. “Jika demonstrasi ini dipakai untuk menantang kami. Maka kami akan hadapi pedang dengan pedang. Tombak dengan tombak,” tegasnya.

Pengunjukrasa digilas habis. Kampus-kampus ditutup selama 2 tahun. Pada tahun 1965, 1968, 1974, dan 1975 Myanmar saat masih bernama Burma diguncang berbagai unjukrasa besar. Puncaknya terjadi pada tahun 1988 atau lebih dikenal sebagai pemberontakan 8-8-88 karena terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988.

Ne Win kembali menghadapinya dengan keras. Dia memperingatkan para demonstran bahwa militer Burma tidak punya kebiasaan menembak ke udara. Tak lama setelah pemberontakan dipadamkan, Ne Win mengundurkan diri. Namun dibalik layar dia tetap berkuasa selama 10 tahun berikutnya.

Tradisi berasyik masyuk di balik payung masih terus berlangsung hingga saat ini. Rezim militer berbagi kekuasaan dengan rezim sipil pimpinan Aung San Suu Kyi yang juga tak kalah otoriternya menghadapi kelompok minoritas Rohingya.

Rezim penindas, dan kelompok yang pernah ditindas bekerjasama menindas kelompok minoritas.


NKK-BKK dan peran emak-emak

Berkuasa tak lama setelah junta militer di Burma, rezim Orde Baru di bawah Soeharto punya cara berbeda dalam menghadapi aksi unjukrasa.

Menghadapi aksi-aksi mahasiswa setelah peristiwa Malari 1974 dan Parlemen jalanan pada tahun 1978 pemerintah juga mengambil jalan keras. Beberapa tokoh mahasiswa ditangkap dan diadili.

Banyak di antaranya kini masih hidup. Ada yang tetap konsisten bersikap kritis di luar pemerintahan seperti Hariman Siregar. Ada yang masuk di pemerintahan seperti Dipo Alam. Ada juga yang pernah masuk di pemerintahan dan kemudian kembali turun ke jalanan seperti Rizal Ramli.

Pada tahun 1978 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Setelah itu disusul dengan Badan Koordinasi Kemahasiswan (BKK).

Melalui NKK-BKK kegiatan mahasiswa dikebiri. Kebijakan ini juga dikenal sebagai depolitisasi kampus. Mahasiswa dilarang melakukan aktivitas politik. Kebebasan intelektual dibatasi, dan kegiatan mahasiswa dikontrol ketat.

Ketika menteri P&K dijabat oleh Brigjen TNI Nugroho Notosutanto mahasiwa benar-benar dijauhkan dari politik. Organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, PMII dll digusur keluar kampus.

Aktivitas kemahasiswaan disalurkan melalui Senat Mahasiswa dengan dosen sebagai pelindung/pengawasnya.

Di tengah tekanan yang begitu ketat, kegiatan mahasiswa tetap menggeliat. Peran mereka sangat terlihat ketika berlangsung unjukrasa 1998. Dipicu penembakan atas empat orang mahasiswa Universitas Trisakti, mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR. Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun tumbang.

Pada Era Reformasi keran kebebasan mahasiswa dan kampus kembali dibuka. Namun tampaknya aktivitas mahasiswa di kampus sudah mati suri.

Para aktivis 98 banyak yang masuk di pemerintahan, menjadi komisaris di BUMN, atau menjadi Anggota DPR.

Sikap mereka sama. Bahkan banyak yang lebih buruk dari rezim yang pernah dikritik dan ditumbangkannya.

Puncaknya pada Pemilu 2019. Ada 600 orang petugas KPPS meninggal dunia mereka diam seribu basa. Ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif pada pilpres mahasiswa asyik dengan dunianya sendiri.

Ada 8 nyawa mati sia-sia tertembak, ada kekerasan aparat, mahasiswa dan kaum intelektual di kampus malah memberi berbagai dalih mendukung penguasa sambil menghujat dan menista para korban dan pengunjukrasa.

Pemerintah tak perlu susah payah meniru junta militer di Burma. Menyediakan fasilitas umum agar mahasiswa bebas bercinta dan kehilangan semangat berunjukrasa mempersoalkan ketidak-adilan penguasa.

Kita juga tidak bisa meniru gaya para aktivis mahasiswa era 70-80an. Mengirim paket pakaian dalam dan bra ke kampus-kampus yang mahasiswanya acuh tak acuh dengan kondisi sosial politik dan penderitaan rakyat.

Pemilik “benda-benda” itu, yakni para emak-emak jauh lebih peka dan perkasa dibandingkan para mahasiswa. end