Mengerikannya Hukum Politik

Mengerikannya Hukum Politik

Oleh Margarito Kamis*

Hukum dalam politik sehebat apapun yang terlihat dari kejauhan, tetap merupakan hal yang tidak pernah bebas dari kepicikan yang mengerikan. Identik dengan hukum pada dunia usaha, hukum dalam dunia politik diandalkan sebagai alat ampuh dalam menopang kekuatan-kekuatan politik utama, mengonsolidasinya dan membenarkan semua tindak-tanduk mengejek dengan bahasa tak beradab atas kawan dan lawan.

Menandai isinya dengan kata-kata bersayap, hukum politik menyodorkn kerumitan maksimum untuk dimengerti orang kebanyakan. Menariknya hukum politik jenis itu selalu mudah dimengerti dan dipahami penguasa dan politisi sabaran, detail, cermat dan murah senyum. Politisi muka dua dengan kaki tangannya dalam hukum jenis ini dapat secara bergerombol, terkoordinasi atau terpisah-pisah menutup kesempatan menang, melecehkan, merendahkan siapapun kawan dan lawan secara bebas.

Cirinya

Adakah politik, apapun tipenya di dunia ini sedari Romawi dan Yunani kuno yang tidak beroperasi dengan mengandalkan hukum? Politisi ambisius mana di dunia ini yang tidak bergantung, menyodorkan hukum pada kesempatan pertama menopang eksistensinya dengan cara memukul sesuka-sukanya, sesuai defenisinya sendiri semua kekuatan yang teridentifikasi akan bersaing dengannya?  

Nomokrasi yang sering diagung-agungkan itu, kalau harus objektif mengenalinya bukan hal hebat dalam sifatnya. Nomokrasi tidak berbicara untuk eksistensinya sendiri, tetapi ditentukan oleh pemain-pemain tangguh, pemilik uang tak berujung yang selalu tak terlihat dalam operasinya pada semua level, dan semua kesempatan yang mungkin. 

Hampir sepanjang garis kenyataan konstitusionalisme Amerika hukum politik yang mengatur batas pemberian sumbangan kepada partai politik dan capres Amerika, tidak mampu menghentikan praktik busuk ini. Berkali-kali sejak kemunculnnya yang nyata pada tahun 1954, hukum ini tak efektif sebagai insentif konstitusionalisme mencegah praktik ini.

Persis seperti negara kampiun demokrasi itu, hukum politik Indonesia juga melempem, rabun sedari awal dan lumpuh dalam kenyataan menghadapi praktik sumbang-menyumbang dalam pemilu. Pintu masuk dan keluar uang politik dalam pemilu seperti kentut, fatamorgana. Pintu jenis ini membutuhkan keterampilan khusus, yang sayangnya tak tersedia dalam alam hukum  politik Indonesia untuk mengenal, apalagi mencegah dan mematikannya. 

Uang teridentifikasi oleh Mark Hannah, ahli strategi politik Partai Republik lebih dari sebad lalu sebagai hal penting pertama dalam politik. Sayang ia lupa hal penting kedua. Politik tipikal inilah yang menghasilkan manusia-manusia perlaksana kekuasaan legislatif dan mengambil tumpukan kewenangan konstitusional membuat, mengawasi penegakan hukum, termasuk dan tidak terbatas pada mengawasi penggunaan wewenang konstitusional penguasa kekuasaan eksekutif. 

Hukum politik Indonesia dalam sejarahnya sesudah reformasi ini bukan, dan tidak pernah memiliki kapasitas yang andal dalam menutup pintu munculnya politisi lupa budi, bermuka banyak. Hukum politik terkini memungkinkan tindak-tanduk memeluk disaat terjepit, menginjak, menikam dan menyusahkan di saat yang lain. Hukum jenis itu pula yang memungkinkan prosedur diambil sekadar mengamankan ambisinya sebelum pada waktunya menyodorkan seribu satu tabiat menyusahkan kawan. 

Terimalah kekalahan, berbesar hati, jadi negarawan dan kata lain yang sejenis yang bersayap-sayap, mucul dari menit ke menit dalam lautan politik pasca tanggal 21 April, itulah buah dari hukum politik mutakhir. Politik rendahan jenis ini cukup terang tidak menjadi insentif konstitusional yang menghasilkan kehidupan, bukan sekadar demokratis,  tetapi senafas dan sejiwa dengan pesan-pesan mulia nan berkelas dalam pembukaan UUD 1945. 

Politisi yang pintar menyembunyikan ambisinya, sering melupakan apa yang Samuel Hungtington kemukakan, yang karena ketepatannya dikutip Greg Russell, assosite profesor dan direktur program pascasarjana di depertemen ilmu politik pada University Oklahoma di Norman. Kata Hungtington pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil adalah inti demokrasi, mereka adalan kondisi sine qua non yang tidak bisa ditinggalkan karena tanpa itu demokrasi tidak ada. 

Pemilu jujur dan adil, inti demokrasi dalam alam pikir ilmuan hebat ini, uniknya terlihat pada pemilu pahit kali ini sebagai barang rongsokan. Picik betul hukum-hukum politik memperlakukan “jujur dan adil” yang tersifatkan sebagai azas pemilu dan didefenisikan dalam konstitusi sebagai kerangka kerja pemilu. Jujur dan adil terlihat dipaksa dengan hukum yang mengerikan untuk menyerah pada angka-angka dalam makna hasil pemilu.    

Pemilihan-pemilihan yang bebas dan adil adalah hal terpenting dalam menjamin “kesepakatan mereka yang diperintah”, fondasi politik demokratis, kata Greg Russel. Sayang menang dengan jujur, menang dengan adil terlihat menjadi hal sepele. Kekuasaan ternyata lebih berharga dari kejujuran dan keadilan. 

Terlupakan sudah bahwa kejujuran dan keadilan ditulis dalam peradaban besar sebagai basis lahirnya bangsa-bangsa beradab dan bermartabat. Jujur dan adil diperintahkan agama Islam, yang dalam kehidupan bernegara terjustifikasi pada Pancasila untuk ditunaikan dalam semua sendi kehidupan, kini terlihat tak bernilai. 

Boleh jadi karena sebab itulah hukum pemilu ini tak menyediakan kerangka kerja terukur, terspesialisasi yang dapat dipakai untuk menguji derajat keabsahan konstitusional DPT pemilu, yang beberapa kali dimasalahkan TIM BPN Prabowo-Sandi. Hak konstitusional warga, hak untuk memilih, menentukan siapa yang pantas memimpin mereka disandarkan secara hukum pada DPT, dengan sifat membatasi bila dan hanya jika namanya tercantum dalam DPT. Tragis.

Kebesaran Jiwa 

Dunia pernah mencatat pemerintahan hasil pemilu yang punya record top dalam politik atau miskin jam terbangnya sekalipun sama dalam satu hal; sangat sering berkuping tipis setipis senyum tipisnya politisi sinis. Pemerintahan jenis ini sensitif terhadap kritik. Tetapi karena datang melalui pemilu, pemerintahan jenis ini tak sudi ditempeli watak otoriter, betapapun tindak-tanduknya terlihat otoriter. 

Hitler tidak memelas, tidak minta dimengerti, dipahami dalam semua sudutnya dalam pemerintahannya. Pemerintahannya memang tidak bertipikal melankolis yang suka memelas. Ia tidak mengandalkan “rayuan, persuasi” yang acap dinasihati ilmuan politik untuk digunakan melokalisir amarah warga. Politisi melankolis suka memelas, minta dimengerti, dikasihani, dan  mengandalkan “bujukan dan rayuan.” Bila cara ini tak ampuh, barulah fitnah ditebar, kasus dikarang untuk memanggil hukum memburu mereka. 

Layaknya pemimpin hebat sekelas Churchil misalnya, Presiden Habibie dan Gus Dur tak memelas, meminta dikasihani dan sejenisnya. Membiarkan semua ekspersi dalam nada kritis yang memekakan rasa membawa pemerintahan keduanya teridentifikasi begitu bermartabat. 

Dari keduanya hukum menemukan momentumnya menjadi sarana peradaban yang hebat. Hukum tak mengerikan, mengancam warga. Keduanya membiarkan warga menemukan dan menentukan sendiri apa yang terasa pantas dan tidak untuk diekspresikan. Pers dibiarkan bebas, terlihat tanpa batas, karena tahu bahwa pers yang jujur bisa menyediakan, dalam arti membantu menyajikan fakta tersembunyi secara apa adanya sehingga mengayakan pemimpin merumuskan kebijakan berkelas. 

Demokrasi Indonesia memang tak mengharamkan penggunan hukum “makar” hukum yang mengerikan dalam pasal  87 dan 107 KUHP. Keamanan nasional bukan tak penting pada pemerintahannya, tetapi mereka tak menyodorkannya sebagai dasar legitimasi menggerakan hukum makar. Rasanya mereka bukan tak tahu konsep “bahaya nyata”, sebuah konsep hukum dalam Espionase Act 1917 Amerika. Konsep ini pernah dipakai memenjarakan Jacob Abrams, penuduh presiden Woodrow Wilson membantu penyerangan Tzar Rusia dalam revolusi Bolshewik. Konsep ini memang dikoreksi Oliver Wendel Holmes, hakim agung yang dalam ilmu hukum dikenal sebagai seorang realis, dan beberapa tahun setelah itu barulah terwujud. Pointnya negara itu tak rontok dengan dilonggarkannya “konsep bahaya nyata” itu.   

Pemimpin matang mampu dan sukarela tahu kapan menggunakan perangkat keras, dan memilih membatasi sendiri wewenang menggunakan hukum yang terdefenisikan dalam konstitusi. Pemimpin jenis ini selalu memiliki pemahaman bahwa mereka tertakdir secara politik sebagai figur-firgur publik yang padanya kritik dialamatkan, dan tanggung jawab ditagih, kapanpun dimaui warga.  

Pemerintahan demokratis dan hukum yang beradab cukup jelas hanya bisa dihasilkan dibawah panduan pemimpin yang memiliki pengertian dan pemahaman lebih dari yang mungkin bahwa konsolidasi kehidupan demokratis dan hukum yang beradab, tidak melulu mengandalkan huruf-huruf normatif konstitusi sebagai kerangka kerjanya. Kesediaan membatasi sendiri penggunaan wewenang konstitusional, suka atau tidak muncul sebagai cara hebat memacu demokrasi dan hukum tumbuh secara beradab. 

Pemimpin yang bersedia mengendalikan diri, membatasi dalam batas yang wajar penggunaan wewenang legalistiknya harus diketengahkan sebagai kunci matinya hukum-hukum politik picik yang mengerikan. Kematangan mengenal diri, mengenal kunci-kunci tak terlihat dalam peradaban itulah yang menghidupkan, membuat  demokrasi dan hukum anggun, tak mengerikan, mematikan dan menghinakan. (*)

Jakarta, 8 Juni 2019

*) Doktor HTN, Staf Pengajar FH. Univ Khairun Ternate