Berpikir Ulang Pemindahan Ibukota, Lebih Baik Fokus Pada Fundamental Ekonomi

Berpikir Ulang Pemindahan Ibukota, Lebih Baik Fokus Pada Fundamental Ekonomi
BERITA TERKINI - MESKIPUN rencana presiden tentang pemindahan Ibukota sudah diumumkan resmi pada pidato 16 Agustus 2019, namun pemerintah belum menjelaskan secara kuat landasan, tujuan, dan tema besar pemindahan ibukota.

Pemerintah baru sekadar menjelaskan argumentasi yang dipaksakan terkait wacana relokasi ibukota, seperti daya dukung Ibukota Jakarta yang semakin berat (kepadatan penduduk, kemacetan, polusi, pasokan air, dll), menciptakan ibukota yang aman dan jauh dari ancaman bencana alam (gempa, banjir, dll), dan pemerataan ekonomi ke luar Pulau Jawa.

Seluruh justifikasi tersebut mengesankan bahwa pemerintah pusat justru menghindari permasalahan di ibukota negara yang mestinya dihadapi dan diselesaikan. Selain itu, relokasi Ibukota juga menyiratkan bahwa pemerintah pusat ingin melempar tanggung jawab atas beragam persoalan Jakarta kepada pemerintah daerah.


Mudah dipatahkan alasannya. Argumen pemerataan ekonomi melalui jalan pemindahan ibukota juga dengan mudah dapat dirobohkan, karena pada dasarnya sudah ada instrumen otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yang memang bertujuan untuk mempercepat pemerataan pembangunan.

Lebih penting lagi, reorientasi pembangunan dari Jawa sentris menjadi Indonesia sentris bukanlah retorika yang sekadar diwujudkan dengan memindahkan secara fisik bangunan pemerintahan dan aparatur birokrasi. Melainkan, seharusnya dengan merelokasi paradigma berpikir para penyusun kebijakan, sehingga arah pembangunan dapat dipastikan konsisten menuju keadilan sosial.

Bahkan, lebih baik anggaran untuk pembangunan ibukota baru tersebut disalurkan untuk pembangunan di berbagai daerah yang sangat membutuhkan.

Pemindahan ibukota bukan barang baru. Berikut adalah contoh pemindahan ibukota diberbagai negara dunia. Brasil (1956) dari Rio de Janeiro ke Brasilia, Mauritania (1957) dari Saint Louis (Senegal) ke Nouakchott, Pakistan (1959) dari Karachi ke Islamabad, Botswana (1961) dari Mafeking ke Gaberone, Libya (1963) dari Benghazi ke Tripoli, Malawi (1965) dari Zomba ke Liliongwe, Belize (1970) dari Belize City ke Belmopan, Tanzania (1973) dari Dar es Salaam ke Dodoma, Nigeria (1975) dari Lagos ke Abuja, Ivory Coast (1983) dari Abidjan ke Yamoussoukro, Jerman (1990) dari Bonn ke Berlin, Kazakhstan (1997) dari Almaty ke Astana, dan Malaysia (2000) dari Kuala Lumpur ke Putrajaya.

Yang perlu ditinjau adalah bagaimana kondisi perekonomiaan di setiap negara tersebut.

Risiko kegagalan tinggi harus berhati-hati. Meskipun pusat pemerintahan dan ibukota negara Malaysia berada di Putrajaya, tetapi sebagian besar pegawai negerinya tetap tinggal di Kuala Lumpur karena keluarganya berada di sana, apalagi jarak Putrajaya dan Kuala Lumpur hanya 25 km.

Begitupun Canberra sebagai ibukota baru Australia juga terbukti sepi tidak terlalu diminati warganya untuk bermukim di sana.

Pemindahan ibukota Korea Selatan dari Seoul ke Sejong telah diputuskan sejak 2012, tapi sampai saat ini prosesnya masih belum selesai. Salah satu kendalanya adalah besarnya biaya pembangunan dan dinamika politik domestik, sehingga turut menghambat pembangunan ibukota baru di Sejong.

Contoh penting berikutnya adalah pemindahan Ibukota Provinsi Maluku Utara dari Ternate ke Sofifi pada tahun 2010. Namun, setelah 9 tahun berjalan, Ibukota Sofifi tidak banyak mengalami perubahan dan hanya ramai saat jam kerja, setelah itu 99 persen PNS kembali pulang ke Kota Ternate.

Pemerintah mengumumkan memiliki dua skenario, pertama adalah ibukota baru dengan 40 ribu hektare, dibangun 5 tahun, memindahakan 1,5 juta PNS dengan biaya 33 miliar dolar AS setara Rp 466 triliun.

Skenario kedua adalah ibukota baru dengan 30 ribu hektare, dibangun 10 tahun, memindahkan 870 ribu PNS dengan biaya 23 miliar dolar AS setara Rp 323 triliun.

Memindahkan ibukota bukan hal yang sederhana, banyak aspek yang harus dikaji secara dalam dan komprehensif, juga harus dilihat dampaknya terhadap keamanan nasional dari berbagai sektor (politik, militer, sosial, ekonomi, dan lingkungan).

Syarat lain pemindahan ibukota adalah secara struktural, tidak mudah mengubah porsi PDB antar pulau, karena erat kaitannya dengan sebaran populasi dan aktivitas bisnis dan ekonomi.

Upaya pemerataan dengan memindahkan PNS ke luar Pulau Jawa tidak akan berhasil karena yang justru lebih dibutuhkan adalah pengembangan kawasan ekonomi di daerah (industri, pertanian, pariwisata, dll).

Kawasan timur sudah maju. Kontribusi Kawasan Timur Indonesia terhadap PDB sebenarnya telah meningkat dalam 8 tahun terakhir.

Kondisi ekonomi Indonesia belum siap untuk pemindahan ibukota, terlalu banyak hambatan fundamental untuk melakukan itu. Di antaranya adalah tax ratio Indonesia adalah paling rendah di antara Brasil, Laos, Filipina, Singapore, Malaysia, Thailand, Cambodia, Vietnam, dan rata-rata negara OECD.

Indonesia juga telah memasuki era berakhirnya pertumbuhan tinggi di Indonesia. Pada 1976-1980, ekonomi tumbuh 8 persen, 1987-1996 tumbuh 7 persen, 2005-2011 tumbuh 6 persen, 2012-2018 tumbuh 5 persen.

Saat ini penduduk Indonesia punya penghasilan tahunan terbawah dibandingkan Thailand, China, Malaysia dan Korea. Income per kapita Indonesia (3,540 dolar AS), Thailand (5,960 dolar AS), China (8,690 dolar AS), Malaysia (9,650 dolar AS) dan Korea Selatan (28,380 dolar AS).

Indonesia saat ini memasuki fundamental ekonomi yang lemah hal ini terlihat dari pertumbuhan sektor manufaktur selalu lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sejak 2005.

Pada 2009, manufaktur tumbuh 2,2 persen sedangkan ekonomi tumbuh 4,6 persen. Pada 2018 manufaktur tumbuh 4,3 persen sedangkan ekonomi tumbuh 5,2 persen.

Indikator lain seperti proporsi sektor industri manufaktur terhadap pertumbuhan ekonomi menyusut lebih cepat daripada China dan Asia Timur dan Pasifik lainnya. Pertanda deindustrialisasi dini terjadi di Indonesia.

Tantangan ekonomi Indonesia masih banyak yang membutuhkan perhatian dan sumber pendanaan daripada pemindahan ibukota.  Di antaranya bagaimana kebijakan untuk bangkit dari keruntuhan ekspor manufaktur Indonesia, bagaimana meningkatkan FDI yang masih kalah ketinggalan dari Vietnam, Thailand, Filipina., dan bagaimana penerimaan pajak yang rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Tugas utama Bappenas dan Menteri Keuangan adalah tantangan menaikan rasio pajak yang terus turun sejak 2012 (11,4 persen) dan 2018 (9,1 persen).

Jika melihat struktur belanja infrastruktur, sebenarnya sudah sangat masif. Periode 2014-2019 belanja infrastruktur tumbuh 172 persen sementara pendidikan tumbuh hanya 38 persen dan subsidi energi turun -54 persen.

Maka logisnya, pendanaan pemindahan ibukota dari APBN hanya dapat dilakukan melalui pengurangan sektor lain seperti pendidikan, atau kesehatan yang dibutuhkan publik.

Jika pendanaan pemindahan ibukota dari utang LN maka kondisi makro utang kita tidak memiliki kemewahan yang cukup. Rasio utang kita sudah tinggi terhadap PDB yaitu 2012 (23 peren) menjadi 2019 (30,4 persen).

Kesimpulan

Tidak ada urgensi yang kuat untuk memindahkan ibukota negara. Wacana pemindahan Ibukota terlalu dimonopoli pemerintah pusat, padahal keputusan besar ini harus melibatkan seluruh komponen bangsa dan bahkan membutuhkan konsensus nasional.

Pemindahan ibukota bukanlah hak prerogatif presiden dan jangan sampai presiden memaksakan ambisi pribadinya untuk memaksakan pemindahan ibukota NKRI.

Contoh pemindahan ibukota di negara lain harus dilihat secara utuh latar belakang, tujuan, dan kesiapan negara-negara tersebut dari beragam aspek (politik, ekonomi, sosial, militer, dan lingkungan).

Pemerintah sebaiknya segera mengalihkan perhatiannya terhadap persoalan-persoalan pembangunan lainnya yang lebih prioritas dan sejalan dengan janji-janji politik jangka pendek seperti isu investasi, industrialisasi, penciptaan lapangan kerja, daya saing SDM. (Rmol)