Fickar: Menerima Uang Atau Tidak, Membantu Memuluskan Rencana Jahat Adalah Pidana

Fickar: Menerima Uang Atau Tidak, Membantu Memuluskan Rencana Jahat Adalah Pidana
BERITA TERKINI - Tidak harus menerima uang. Seseorang bisa disebut korupsi bila berbekal kewenangannya memberikan kesempatan kepada orang yang tidak punya kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan korup.


Demikian disampaikan dosen pengajar hukum pidana formil dan materil Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hajar.

Ia ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) untuk menjadi ahli dalam sidang perkara dugaan suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1 dengan terdakwa Sofyan Basir.


Dalam keterangannya, Fickar menyebut harus ada unsur kesengajaan untuk memberikan bantuan demi memuluskan kejahatan yang dilakukan, dalam perkara mantan Dirut PLN itu.

"Ada yang membantu dan dibantu, ada unsur kesengajaan, lalu sesuatu yang diberikan dalam hal ini bentuknya kesempatan dan saran," jelas Fickar
di Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (26/8).

Fickar melanjutkan, seseorang bisa dikenakan pidana apabila dengan kewenangan yang dimiliknya memberikan kesempatan kepada orang yang tidak punya kewenangan untuk melakukan kejahatan.

"Memberikan sarana itu bentuknya bisa  fisik. Apakah itu tempat, kendaraan atau lain-lain yang berbentuk fisik," jelasnya.

"Kemudian untuk keterangan, bisa diberikan secara langsung atau sekarang dalam bentuk elektronik. Keterangan itu tidak dimiliki orang lain tetapi diberikan keterangannya untuk membantu memuluskan rencana," sambung Fickar.

Lebih jauh Fickar menjelaskan bahwa bantuan bisa diartikan memuluskan niat pelaku korupsi. 

"Jadi enggak ada aturan menerima atau tidak menerima uang, itu sudah dikualifikasi memberikan bantuan. Kalau dia juga menerima uang, pasalnya berubah, dia jadi pelaku peserta. Artinya, pasalnya jadi 55," pungkasnya.

Sofyan Basir didakwa memberikan kesempatan, sarana dan keterangan agar sejumlah pihak menerima suap terkait proyek PLTU Riau-1.

Sofyan disebut secara sadar mengetahui Menteri Sosial (saat itu), Idrus Marham, dan Wakil Ketua Komisi VII DPR (saat itu), Eni Maulani Saragih, menerima suap dari pemegang saham Blackgold Natural Resources, Johanes Budisutrisno Kotjo.

Atas bantuan Sofyan, perusahaan Kotjo dijatahi proyek PLTU Riau-1. Kotjo mendapatkan keuntungan Rp 4,75 miliar atas permainan kotor tersebut.

Sofyan Basir didakwa melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 15 atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 juncto Pasal 56 ke-2 KUHP. (Rmol)