Selamat Datang Nahkoda (Baru) KPK

Selamat Datang Nahkoda (Baru) KPK
BERITA TERKINI - TIDAK kurang dalam beberapa bulan terakhir polemik ikhwal suksesi kepemimpinan di lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi headline dan konsumsi publik di berbagai media pemberitaan tanah air. Rasanya tanpa mengenal ruang dan waktu semua lapisan/kalangan dari berbagai unsur masyarakat turut juga berkomentar menanggapi polemik tersebut.

Dapat dilihat bagaimana hingar bingar suksesi kepemimpinan KPK yang sedari awal penentuan struktur keanggotaan panitia seleksi yang diumumkan Presiden beberapa waktu yang lalu hingga akhirnya proses pemilihan melalui fit and proper test di DPR RI selalu menuai pro dan kontra di mata publik.
Akhirnya kalau boleh mengambil hipotesa mengawali tulisan singkat ini, berbagai perdebatan yang menuai kontroversi di ruang publik terkait suksesi kepemimpinan di KPK perlu untuk segera diakhiri, menyusul telah terpilihnya lima) nama pimpinan KPK periode mendatang.

Melalui proses fit and proper test di DPR RI, secara legal konstitusional setelah melalui beberapa mekanisme tahapan seleksi capim KPK sebelumnya, telah terpilih lima nama yang akan menjadi nahkoda lembaga KPK periode 2019-2023 mendatang. Kelima nama tersebut ialah Firli Bahuri sebagai ketua dan empat wakil ketua yaitu Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango, dan Nurul Ghufron.

Tentu, apabila bersandar pada ketentuan yuridis yang ada di dalam UU KPK, maka proses yang berlangsung saat ini hanya tinggal menyisahkan satu tahapan lagi yaitu, tahap pengesahan, dimana sejatinya tahapan ini merupakan tahap administrasi prosedural pengesahan, yang mana nantinya setelah terpilih dan ditetapkan lima nama pimpinan KPK, maka kelima nama terpilih tersebut akan disampaikan kembali kepada Presiden untuk disahkan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Pimpinan KPK (Pasal 30 ayat 12 dan 13 UU KPK). Pada akhirnya, selesai sudah proses seleksi capim KPK.

Isu Krusial

Apabila sedikit diruntut (flashback) kembali perjalanan proses seleksi capim KPK terdapat banyak sekali dinamika kontroversial yang terjadi di dalamnya.

Namun yang paling menarik untuk dikaji ulang serta dikritisi ialah terkait dengan beberapa pergolakan di saat-saat akhir (last minuite) dan sesaat setelah pemilihan pimpinan KPK yang baru, yang notabenenya dilakukan oleh pihak internal KPK sendiri, baik yang berasal dari wadah pegawai KPK berupa aksi penolakan/demonstrasi menentang proses seleksi capim KPK, maupun manuver dari beberapa komisioner (petahanan) pimpinan KPK saat ini, yang senyatanya dapat dibilang melakukan 'manuver dekonstruktif' dengan menggelar beberapa kali press conference mengomentari hasil seleksi capim KPK, revisi UU KPK dan terakhir upaya mendelegitimasi serta mendorong opini sesat terhadap institusi lembaga KPK, dengan dalil mengalihkan operasionalisasi dan tanggung jawab/mandat KPK.

Tentu, beberapa pergolakan yang sejatinya datang dari internal tubuh KPK melalui wadah pegawai KPK, sesungguhnya dapatlah dipandang sebagai sebuah kebebasan menyuarakan aspirasi/pendapat yang dijamin dan dilindungi, namun langkah taktis tersebut, kiranya sangatlah tidak etis. Sebab, bagaimana mungkin lembaga KPK yang diisi oleh orang-orang yang memang memiliki integritas teruji (high integrated) dan dedikasi tinggi (loyality) melakukan serangkaian upaya penggiringan opini guna mencari simpati publik melalui langkah/tindakan yang demikian. Rasanya justru KPK seakan memposisikan dan mendudukan dirinya tidak lebih sekedar NGO (LSM) eksternal diluar lembaga/institusi formal negara.

Begitupun hal-nya ketika beberapa hal kontroversial tersebut, dilakukan langsung oleh pejabat teras di internal KPK, yang sejatinya sangatlah tidak relevan dan justru membuat antipati publik semakin menjurus kepada ketidakpercayaan masyarakat (public distrust) kepada KPK. Langkah populis tersebut justru sebaliknya memperlihatkan dengan sendirinya bahwa pimpinan KPK saat ini tidak memahami (missunderstanding) terhadap UU KPK dan hakikat serta kedudukan keberadaan KPK dalam sistem ketatanegaraan yang ada.

Secara lebih jauh, upaya mendelegitimasi terhadap lembaga KPK yang muncul dari dalam tubuh KPK sendiri (Komisioner KPK), dengan dalil mengalihkan operasionalisasi dan tanggung jawab/mandat KPK kepada Presiden RI, dapat dipandang sebagai upaya mengingkari UU KPK itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat sebagai pembangkangan serta pelanggaran terhadap UU KPK, sebab UU KPK tidak merinci dan mengatur ikhwal pengalihan mandat/tanggung jawab kelembagaan, ya toh kenapa tidak sekalian mengundurkan diri yang memang jelas kedudukan dan posisi hukumnya.

Kesemua hal tersebut tentu menjadi persoalan dan sekaligus menjadi catatan bagi nahkoda KPK mendatang, sebab sangat diharapkan di tangan pimpinan KPK mendatang jangan lagi ada dan tersisa preseden buruk demikian terhadap institusi lembaga KPK.

Qou Vadis KPK?

Lalu selanjutnya, menjadi pertanyaan besar di benak publik mau dibawa kemana institusi KPK ke depannya di bawah kepemimpinan nahkoda yang baru pada periode mendatang? Tanpa mendahului lima pimpinan KPK terpilih bekerja dan melalukan tupoksinya sesuai dengan visi yang memang telah dipaparkan pada tahap proses seleksi, tentu pekerjaan rumah yang menjadi tugas utama pimpinan KPK mendatang tidak lain ialah bagaimana menjalankan manajemen operasionaliasi KPK sesuai dengan 'khittah' pembentukannya, yang selaras dengan original intent UU KPK, dan menjalankan mandat lembaga KPK sebagai triger mechanism, sebagaimana 'asbabun nuzul' dari lahirnya lembaga KPK.

Mengilhami kembali fungsi KPK yang selaras dengan original intent dari UU KPK, setidaknya dapat dipedomani berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 6 UU No. 30 Tahun 2002 (UU KPK), yang mana sejatinya terdiri dari koordinasi, supervisi, penindakan (refresif), pencegahan (preventif) serta monitoring (pengawasan).

Dalam hal ini apabila melihat konstruksi norma tersebut, secara filosofis dapatlah dilihat mengapa justru fungsi penindakan tidaklah diletakan pada point pertama (di awal) dari tugas KPK. Adapun makna implisit jika dilihat kembali risalah pembentukan dari ketentuan tersebut (memorie van toelichting), yakni sebenarnya fungsi penindakan yang berisi serangkaian tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan bukanlah satu-satunya fungsi utama KPK, dan hal tersebut merupakan salah satu bagian dari fungsi dan tugas pokok KPK.

Konsekuensi logis hal tersebut berarti, KPK tetaplah harus mengedepankan fungsi (strategis) lainnya, yakni koordinasi dengan instansi (penegak hukum), supervisi, penindakan hingga pencegahan dan monitoring atau pengawasan.

Kemudian terkait dengan eksistensi strategis KPK yang memegang mandat triger mechanism, dapat diartikan bahwa senyatanya urgensi lahirnya KPK ialah untuk memperkuat lembaga penegak hukum yang sudah ada, yakni Kepolisian dan Kejaksaan di dalam law enforcement terhadap tindak pidana korupsi.

Secara historis adapun inisiasi pada saat pembentukan KPK ialah dikarenakan belum optimal dan maksimal-nya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kedua lembaga hukum tersebut (dapat dilihat konsideran 'menimbang' huruf b UU KPK), namun kondisi tersebut patut dicatat bahwa bukan oleh karena ketidakmampuan dari Kepolisian dan Kejaksaan di dalam law enforcement terhadap tindak pidana korupsi, akan tetapi dikarenakan masih banyaknya intervensi yang ada dan mempengaruhi kedua lembaga penegak hukum tersebut.

Dapat dilihat di sini artinya bahwa KPK hadir sebagai lokomotif utama di dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dengan 'mengindahkan' lembaga penegak hukum yang sudah ada, bukan justru 'menihilkan'-'mengkerdilkan' atau bahkan 'menegasikan' kedua lembaga tersebut.

Eksistensi KPK pada hakikatnya diharapkan dapat memperkuat lembaga penegak hukum yang sudah ada dan bukan malah sebaliknya. Akan tetapi realitasnya saat ini dengan segudang kewenangan ekslusif yang dimiliki - KPK sudah jauh keluar dari ‘khittah’ dan ‘marwah’-nya.

Pada penilaian (opini) yang subjektif serta dalam kerangka pemikiran yang objektif, dapatlah dikatakan bahwa dalam ruang lingkup dan aspek yang luas telah banyak terjadi penyimpangan yang justru muncul dan dilakukan oleh KPK itu sendiri. Tentunya hal ini harus menjadi catatan perbaikan bagi nahkoda KPK terpilih mendatang.

Komitmen Kepemimpinan

Pastinya akan banyak alat ukur (indikator) yang dapat digunakan dalam melihat kinerja dan keberhasilan KPK. Salah satunya tentu dengan melihat indeks persepsi korupsi, yang digunakan untuk melihat ukuran/tingkat korupsi di suatu negara.

Dapat dilihat beberapa tahun terakhir, berdasarkan data Transparency International pada tahun 2014 skor Indonesia 34 (dari rentang 0-100), dan menempati urutan (peringkat) ke 107 dari 175 negara, kemudian pada tahun 2015 skor Indonesia 36 dengan urutan 88 dari 168 negara, lalu pada tahun 2016 skor Indonesia naik satu point menjadi 37 dan menempati peringkat 90 dari 176 negara. Terakhir pada tahun 2018 skor Indonesia naik menjadi 38, dan menempati ranking 89.

Dari catatan tersebut tentu dapat dilihat bahwa meskipun IPK Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun Indonesia tetap berada di bawa rata-rata, yang mana memperlihatkan sesunggunya bahwa IPK Indonesia masih tergolong rendah. Bahkan, IPK Indonesia lebih rendah dari Timor Leste.

Progress negatif dari waktu ke waktu tersebut, tentu juga menjadi salah satu referensi utama bagi nahkoda KPK mendatang dalam melakukan evaluasi, koreksi dan perbaikan, yang memang masih banyak 'mewarisi' skandal kasus korupsi besar yang belum tuntas hingga detik ini. Tentu hal ini akan menjadi catatan penting sekaligus menjadi komitmen kepemimpinan di era KPK mendatang.

Dapat dilihat bagaimana KPK di era kepemimpinan sebelumnya, sejatinya telah hilang arah dalam memberikan skala prioritas terhadap pengungkapan kasus korupsi, dimana KPK rasanya telah gagal dalam mengusut tuntas kasus-kasus besar korupsi (mega corruption) yang telah terjadi, sebaliknya realitas memperlihatkan bahwa KPK tertuju atau terfokus pada kasus-kasus korupsi yang non-potensial serta tidak memiliki nilai substansial dan nilai material yang tinggi (high value).

Dapat dilihat bagaimana sederet mega corruption yang ‘mangkrak’ serta tidak dapat dituntaskan oleh KPK dalam beberapa era sebelumnya, seperti kasus (perkara) KLBI/BLBI yang belum menyentuh obligor curang (tidak koopratif), yang belum bayar sama sekali, Kasus Bank Century juga yang belum tuntas, begitupun dengan Kasus Reklamasi yang berhenti hanya sebatas suap menyuap, lalu Kasus Suap Kementerian ESDM 2013, Kasus Proyek Hambalang, Kasus SKK Migas, Kasus PON Riau 2012, Kasus Wisma Atlet Palembang, Kasus Korupsi Pesawat Garuda 2005-2014, Korupsi di sektor Perpajakan, Korupsi di sektor Migas dan Pertambangan, Kasus Sumber Waras, Tanah Cengkareng, Meikarta, dan skandal korupsi besar lainnya.

Patut menjadi catatan ke depan bagi nahkoda KPK yang akan datang bahwa idealnya prioritas KPK memang seharusnya diarahkan kepada kasus korupsi besar (mega corruption), seperti Korupsi pada bidang SDA, Migas, Pertambangan, Perbankan dan bidang strategis lainnya, serta menyasar pada korupsi di sektor penerimaan dan/atau pendapatan negara yang mana orientasi akhirnya ialah pada cost and asset recovery

Tentunya, pergeseran prioritas yang harus dilakukan di era kepemimpinan nahkoda baru KPK mendatang pada kasus korupsi strategis demikian, memang bukan dalam arti (serta merta) bahwa KPK harus ‘tutup mata’ terhadap kasus-kasus korupsi lainnya, akan tetapi di sinilah peran dari lembaga (institusi penegak hukum) lain, selain KPK untuk mengcover (fungsi koordinasi dan supervisi) dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam pengusutan kasus korupsi lain yang bukan menjadi prioritas utama KPK.

Harapan Ke Depan

Ke depan (forward looking), sangatlah diharapkan KPK di tangan kepemimpinan nahkoda baru di periode mendatang, dapat berjalan sesuai dengan hakikat pembentukannya. Sudah seharusnya nahkoda baru KPK mendatang dapat mengembalikan cita dan visi KPK selaras dengan UU KPK itu sendiri.

Nahkoda KPK baru mendatang harus kembali menyadari bahwa KPK lahir bukanlah karena ketidakmampuan dari lembaga penegak hukum lain - seperti; Kepolisian dan Kejaksaan - dalam menanggulangi permasalahan korupsi, akan tetapi KPK lahir dikarenakan lembaga penegak hukum lain tersebut masih belum dapat steril dari pengaruh (intervensi). Dan oleh karenanya lah KPK hadir guna memegang mandat triger mechanism; yang mana poin pentingnya bahwa KPK tidak dapat berjalan sendiri tanpa ditunjang dan saling mendukung antar sesama penegak hukum lain.

Oleh karena itulah ke depan visi pemberantasan korupsi yang ideal ditangan nahkoda baru KPK mendatang ialah mengembalikan 'khittah' KPK dalam semangat integratif dan koordinatif serta mengedepankan sinergitas dan harmonisasi dengan aparatur penegak hukum lainnya dalam menanggulangi polemik dan permasalahan korupsi di Indonesia.

Pada akhirnya, saya ingin mengucapkan selamat datang nahkoda (baru) KPK, selamat telah terpilih untuk menahkodai kapal induk penanggulangan korupsi di Indonesia, selamat menjalankan tugas dan mengemban amanah. Congratulations!

Oleh:  Dr. Ahmad Yani
Praktisi hukum, dosen di Fakultas Hukum dan FISIP Universitas Muhamadiyah Jakarta, dan anggota Komisi III DPR RI 2009-2014.(rmol)