Pemerintah Tetapkan Aturan Baru Terkait Impor Barang Kiriman

BERITA TERKINI - Aturan baru tentang impor barang kiriman sudah ditetapkan pemerintah melalui Bea Cukai.

Aturan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.04/2019 akan mulai berlaku pada 30 Januari 2020.

Dalam aturan, ini Bea Cukai menyesuaikan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya USD 75 menjadi USD 3 per kiriman. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal.

Namun demikian, pemerintah juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5 persen – 37,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 10 persen dengan NPWP, dan PPh 20 persen tanpa NPWP) menjadi 17,5 persen (bea masuk 7,5 persen, PPN 10 persen, PPh 0 persen).

Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Syarif Hidayat mengungkapkan, meskipun bea masuk terhadap barang kiriman dikenakan tarif tunggal, pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan yang disampaikan pengrajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dari luar negeri.

“Hal ini mengakibatkan produk tas, sepatu, dan garmen dalam negeri tidak laku. Seperti yang diketahui beberapa sentra pengrajin tas dan sepatu banyak yang gulung tikar dan hanya menjual produk-produk Tiongkok,” ujarnya, Selasa (14/1).

Melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, pemerintah telah menetapkan tarif bea masuk normal untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen.

Yakni 15 persen-20 persen untuk tas, 25 persen-30 persen untuk sepatu, dan 15 persen-25 persen untuk produk tekstil dengan PPN sebesar 10 persen, dan PPh sebesar 7,5 persen hingga 10 persen.

“Penetapan tarif normal ini demi menciptakan perlakuan yang adil dalam perpajakan atau level playing field antara produk dalam negeri yang mayoritas berasal dari IKM dan dikenakan pajak dengan produk impor melalui barang kiriman serta impor distributor melalui kargo umum,” ujar Syarif.

Lebih lanjut, Syarif mengimbau kepada masyarakat, khususnya perusahaan jasa titipan (PJT), untuk menaati aturan tersebut dengan tidak melakukan modus pelanggaran antara lain memecah barang kiriman (splitting) atau memberitahukan harga di bawah nilai transaksi (under invoicing).

Dalam menyusun perubahan aturan ini, pemerintah telah melibatkan berbagai pihak untuk menciptakan aturan yang inklusif serta menjunjung tinggi keadilan dalam berusaha.[psid]