Masyarakat Skeptis Terhadap Omnibus Law Lantaran Tak Percaya Pemerintah

BERITA TERKINI - Omnibus law saat ini tengah popular dibicarakan di ruang publik.  Hal tersebut menyusul dengan disahkannya 50 Rancangan Undang-Undang (RUU), tiga di antaranya terkait dengan Omnibus Law usulan Presiden Joko Widodo yang masuk. Yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU tentang Perpajakan, dan RUU tentang Ibu Kota Negara. Undang-Undang tersebut dinilai sebagai sapu jagat atau tindakan short cut pemerintah.

Rezim saat ini sepertinya sudah frustasi dengan sistem hukum yang berjalan namun dinilai kurang mendukung investasi. Idola pergerakan ekonomi tidak lain investasi. Jika investasi tumbuh maka lapangan kerja melimpah dan menjadi komoditi politik yang memiliki oportunity tinggi.

Pengamat kebijakan publik dari Center of Public Policy Studies (CPPS) Bambang Istianto mengatakan, ada fenomena menarik dibalik kemunculan RUU Omnibus Law. Pasalnya, mengapa niat baik pemerintah ditolak masyarakat. Apakah minimnya informasi tentang Omnibus Law sehingga masyarakat serta merta menolak kebijakan tersebut.

“Rasanya tidak demikian. Kemungkinan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, sehingga terjadi  public distrust. Boleh jadi demikian,” ujar Bambang kepada Indopolitika, Senin (3/2/2020).

Menurut Bambang, saat ini ada beberapa peroalan yang mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di antaranya terkait dengan revisi UU KPK, sehingga lembaga antirausah itu saat ini kian tak berdaya. Kemudian kesenjangan ekonomi kian menganga. Selanjutnya, menurunnya daya beli masyarakat.

“Demikian pula dengan gagasan Omnibus Law yang bertujuan menggenjot pertumbuhan ekonomi bisa mencapai diatas 6%, namun gelombang penolakan dari masyarakat kian menguat,” ujar Bamabang.

Bambang menilai salah satu strategi pemerintah untuk membaypass aturan yang merintangi dalam meningkatkan investasi, kesempatan yang dianggap tepat melalui Omnibus Law.  Namun pemerintah menghadapi dilema. Dalam  teori legal drafting.

“Omnibus Law masih menjadi polemik. Beberapa pakar mengatakan Omnibus law hanya bisa praktekan di negara yang menganut faham Comen Law sedang Indonesia penganut Civil Law,” imbuh Bambang.

Sedang pakar yang lain mengatakan dalam penerapan Omnibus Law tidak perlu mendikotomikan antara Comen Law maupun Civil Law”.

Menurutnya, kecenderungannya pemerintah tetap jalan terus menerapkan model Omnibus Law dalam menghadapi kondisi pemerintah saat ini terutama bidang ekonomi. Sebab pemerintah sedang panik menghadapi gejolak ekonomi global yang penuh dengan ketidak-pastian.

“Kondisi tersebut para pengamat memberikan sinyal bisa berdampak buruk terhadap ekonomi Indonesia. Suatu pemerintahan jatuh atau dijatuhkan oleh dua instrumen yaitu ekonomi dan politik,” tuturnya.

Karena itu, lanjut Bambang, pemerintah harus mampu mengendalikan kedua faktor tersebut supaya seimbang. Dengan strategi penerapan omnibus law, pemerintah bisa mengatur dengan seksama tercapainya keseimbanganbkedua faktor tersebut.

Seperti diketahui dalam catatan sejarah Indonesia  sistem pemerintahan presidensial posisi lembaga eksekutif lebih kuat dibanding legeslatif. Sistem ini sudah dipraktikan oleh dua presiden yakni pada era orde lama dibawah Sukarno dan orde baru dibawah Soeharto. Menurut Bambang, kedua contoh dalam pemegang kekuasaan yang menjalankan dengan gaya otoriter dan diktaktor.

“Dua contoh empiristik di atas boleh jadi gagasan Omnibus Law yang rentan dengan penyalah gunaan kekuasan mendapat perlawanan keras dari para aktifis masyarakat sipil,” pungkas Bambang.

Sumber: Indopolitika.com