Mau Nyapres, Paranormal Ki Gendeng Pamungkas Gugat UU Pemilu ke MK

BERITA TERKINI - Paranormal Ki Gendeng Pamungkas mau mencalonkan diri menjadi Presiden pada Pemilu 2024. Namun, hal itu bisa terhalang oleh UU Pemilu karena Ki Gendeng Pamungkas harus mendapatkan tiket dari Parpol. Tak terima dengan aturan itu, Ki Gendeng menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Ki Gendeng menggugat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yaitu Pasal 1 angka 28, Pasal 221, Pasal 22, Pasal 225 ayat 1, Pasal 226 ayat 1, Pasal 230 ayat 2, Pasal 231 ayat 1, Pasal 231 ayat 2, Pasal 231 ayat 3, Pasal 234, Pasal 236 ayat 1, Pasal 237 ayat 3, Pasal 238 ayat 1, Pasal 238 ayat 2, Pasal 269 ayat 1, Pasal 269 ayat 3 dan Pasal 427 ayat 4.

"Pemohon dikenal sebagai tokoh masyarakat dari kegiatannya super natural sehingga memiliki daya intuisi yang tinggi untuk melihat calon presiden/wakil presiden dari pencalonan independen atau tidak dibatasi dari parpol atau gabungan parpol sebagaimana yang berlangsung pasca amandemen UUD 1945," kata Ki Gendeng dalam berkas permohonan yang dilansir website MK, Senin (11/5/2020).

Sebagai orang yang mengaku memiliki indra keenam itu, ia merasakan perlu juga diberi hak mencalonkan diri sebagai capres. Apalagi, capres yang diusulkan parpol/gabungan parpol akan tersandera partai pengusung sehingga akan menyulitkan dirinya dalam mengamalkan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

"Niat maju menjadi calon presiden dan/atau wakil presiden setelah dibukanya ruang tersebut, setelah menghitung angka kelahiran kebangkitan sejarah Indonesia tahun 1928, 1945, 1966, 1998 dan sekarang 2020," ucap Ki Gendeng.

Tahun 2020 diasumsikan Ke Gendeng ibarat seorang jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya dan akan lahir sudah masuk fase kontraksi si ibu yang mengandungnya. Maka, Ki Gendeng menilai sudah saatnya calon independen bisa jadi capres/cawapres. Pencalonan independen juga dinilai bisa jadi calon alternatif sehingga tidak terjadi kasus Pilpres 2019 yang mengerucut pada pertentangan dua kubu.

"Pemohon merasakan perpecahan cebong dan kampret yang mana menjadi terbelah dua masyarakat, sehingga hal ini telah merusak sosial sehingga tidak baik untuk keutuhan NKRI," cetus Ki Gendeng.

Ki Gendeng mencontohkan Soekarno bisa jadi Presiden tanpa lewat pemilu. Begitu juga dengan Soeharto pada 1966.

"Maka menjadi pertimbangan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pilpres dibenarkan cara dan mekanisme terjadi di luar konstitusi," pungkas Ki Gendeng.

Soal wacana capres independen, bukan hal baru dalam jagat hukum tata negara Indonesia. Pada 2008, Fadjroel Rahman juga menggugat UU Pemilu ke MK. Saat itu, Fadjroel menyerahkan kuasa kepada Taufik Basari (kini anggota DPR dari NasDem).

"Jangan hanya melalui jalur partai saja. Bagaimana dengan mereka yang mempunyai kemampuan sebagai presiden, namun tidak masuk dalam lingkup partai dan terkendala dengan minimnya biaya?" ungkap Fadjroel kala itu.

Tapi siapa nyana, permohonan Fadjroel ditolak MK pada Februari 2009. Tapi tiga hakim konstitusi, yaitu Abdul Mukhtie Fadjar-Maruarar Siahaan-Akil Mochtar- setuju dengan Fadjroel agar keran capres independen dibuka.

Entah demikian, suara Mukhtie-Maruarar-Akil kalah melawan 6 hakim konstitusi lainnya yang diketuai Mahfud MD. Keenam hakim MK merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik. Pasal itu berbunyi:

Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

MK menilai ketentuan pasal ini sudah jelas baik secara tekstual maupun dengan penafsiran melalui original intent atau kehendak awal.

"Menyatakan permohonan ditolak untuk seluruhnya," kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan MK Nomor 56/PUU-VI/2008.

Fadjroel bisa saja tidak jadi Presiden RI. Tapi kini ia setiap hari ngantor di Istana Merdeka sebagai juru bicara Presiden.

Lalu bagaimana peluang Ki Gendeng Pamungkas? Apakah MK memberikan angin segar kali ini?

Kata MK dalam putusan soal quick count Pemilu, konstitusi itu hidup dan berkembang. Alhasil putusan MK tidak statis, tapi dinamis.

MK mencontohkan di Amerika Serikat yang telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi.

Contohnya kasus pemisahan sekolah warna berdasarkan warna kulit di AS. Pada 1896, MK Amerika Serikat menyatakan hal itu bukan diskriminasi atas dasar prinsip separate but equal (terpisah tetapi sama). Namun pendirian itu diubah pada 1954. Supreme Court memutuskan pemisahan sekolah yang didasarkan atas dasar warna kulit bertentangan dengan konstitusi.

Lantas bagaimana dengan capres independen 2024? Akankah MK membuka peluang? Kita tunggu ketokan palu 9 hakim konstitusi.(dtk)