Prabowo Tak Akan Dapat Keadilan di MK

Prabowo Tak Akan Dapat Keadilan di MK
Berita Terkini - Banyaknya pengaduan serta barang bukti yang diajukan BPN Prabowo-Sandi, dipastikan takkan tergali secara seksama oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Karena keterbatasan waktu yang hanya 14 hari kerja, akibatnya Prabowo-Sandi takkan dapat keadilan dari proses ini.

Demikian tersirat dari pernyataan pengamat politik Salahuddin Said. Menurut dia, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 475 ayat 3 Undang-Undang Nomor 7/2017 Tentang Pemilihan Umum.

"Sekalipun ketentuan terkait hari tidak merujuk pada hari kalender, karena telah dimaknai oleh MK sebagai hari kerja, tetapi menurut penalaran yang wajar waktu tersebut tampaknya tidak akan cukup memadai," ujar Said di Jakarta seperti diberitakan JPNN, Rabu (29/5).

Said kemudian membeberkan pembagian waktu dalam persidangan di MK. Yaitu, pemeriksaan pendahuluan, pembuktian dan pembacaan putusan. Dari tiga tahapan tersebut, pembuktian sangat penting. Pada tahap ini para pihak berkesempatan saling menunjukan bukti serta beradu argumentasi hukum, untuk membuktikan benar-tidaknya Pilpres 2019 berlangsung curang.

"Persoalannya, jangan dibayangkan dalam 14 hari itu MK nantinya akan menggelar sidang pembuktian sebanyak 14 kali. Jumlahnya pasti akan kurang dari itu. Pada PHPU Pilpres 2014 saja, misalnya, MK hanya menggelar tujuh kali sidang pembuktian dari total sembilan kali persidangan," ucap Said.

Menurut Dewan Pakar Pusat Konsultasi Hukum Pemilu ini, MK pada 2014 lalu hanya fokus pada sidang PHPU Pilpres saja. Berbeda dengan masa sidang PHPU 2019, MK masih harus menangani PHPU Pileg secara bersamaan.

Melihat kondisi yang ada, Said memprediksi sangat tidak mudah bagi MK mengatur jadwal dan mengoptimalkan persidangan. Apalagi dalam hal ini efektivitas yang dimaksud terkait kualitas persidangan. MK diharapkan tidak sekadar menggelar sidang, tetapi diharapkan persidangan dapat mengungkap berbagai permasalahan yang muncul pada penyelenggaraan pemilu. 

"Jadi, pendeknya masa persidangan PHPU Pilpres saya kira jauh dari ideal untuk memeriksa dugaan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) sebagaimana didalilkan oleh Paslon 02," katanya.

Direktur Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini lebih lanjut mengatakan, kalau argumentasinya TSM, artinya MK diminta memeriksa kembali semua proses pemilu sejak tahapan awal. Sebab, ketika disebut pelanggaran sistematis, misalnya, itu terkait dugaan adanya rencana yang telah dirancang jauh-jauh hari untuk memenangkan paslon tertentu dengan cara-cara yang melanggar aturan.

Belum lagi pembuktian terkait pelanggaran yang bersifat terstruktur, harus dibuktikan siapa saja aparat struktural, baik aparat pemerintah atau penyelenggara pemilu yang secara kolektif atau bersama-sama diduga telah memberikan keuntungan atau merugikan paslon tertentu.

"Nah, kalau untuk mengungkap semua hal itu MK hanya menggelar sidang pembuktian sebanyak tujuh kali seperti pada PHPU Pilpres 2014, bagaimana mungkin waktu yang sempit bisa digunakan secara optimal oleh pemohon, termohon, pihak terkait, Bawaslu, serta pihak lainnya untuk meyakinkan Mahkamah," tuturnya.

Said kemudian menyarankan, agar waktu 14 hari yang dimiliki MK dalam menuntaskan perkara PHPU Pilpres, dipertimbangkan untuk diperpanjang. Sebab, secara logis waktu tersebut memang tidak ideal untuk memeriksa begitu banyak bukti dokumen, saksi, ahli, dan sebagainya yang diajukan oleh para pihak.

"Agar masa persidangan PHPU Pilpres dapat diperpanjang sehingga sidang pembuktian dapat digelar dengan frekuensi yang lebih ideal, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah dengan menguji konstitusionalitas Pasal 475 ayat (3) UU 7/2017 melalui acara pemeriksaan cepat di Mahkamah Konstitusi," ucapnya.

Sebagai pihak yang memiliki kepentingan langsung atas permohonan PHPU Pilpres, kata Said, kubu Prabowo bisa mengajukan diri sebagai pihak pemohon atas pengujian norma undang-undang dimaksud. [mc]