Penyebab Didi Kempot Meninggal, Dokter: Sudden Death, Belum Tentu Serangan Jantung

BERITA TERKINI - Penyanyi campursari ‎Didi Kempot meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Kasih Ibu di Solo, Jawa Tengah, pada Selasa (5/5/2020).

Terkait kronologi kematian maestro campursari berusia 53 tahun itu, dikutip dari Tribunnews.com, menurut keterangan resmi dokter yang menangani Didi Kempot, dr. Divan Fernandes, bahwa almarhum tiba di IGD RS Kasih Ibu dalam kondisi tidak sadar, henti nafas, dan henti jantung.

Menanggapi kronologi tersebut, ‎menurut dokter spesialis jantung dan pembuluh darah, DR.dr. Antonia Anna Lukit‎o, SpJP(K), FIHA, FSCAI, FAPSIC, FAsCC, sebenarnya‎ belum jelas penyebab kematian Didi Kempot karena serangan jantung atau bukan.

Pasalnya, ketika sampai di rumah sakit kondisinya bisa jadi sudah meninggal.

"Jadi dokter kesulitan untuk mendiagnosis. Diagnosis yang biasanya ‎dalam kondisi seperti ini adalah sudden death atau kematian mendadak, karena dasarnya sangat sedikit untuk mendasari dalam mendiagnosis," kata Antonia Anna, Selasa (5/5/2020).

Dia memaparkan, kematian mendadak tersebut, memang yang paling banyak diakibatkan jantung. Oleh karena itu, ada dugaan, akan tetapi tidak lantas pasti.

‎"Apalagi kalau meninggalnya dalam kondisi sedang tidur. Kalau memang dalam kondisi tidur, kemungkinan besar ‎serangan jantung yang fatal," katanya.

Serangan jantung yang fatal, biasanya, terhentinya suplai darah ke otot jantung dan mengakibatkan kerusakan jantung yang luas dan menimbulkan gangguan irama, sehubungan terhentinya pasokan oksigen ke otot jantung.

"Itu paling umum ya. Tapi, kemungkinan lain-lainnya masih ada," ujarnya.

Kemungkinan lain-lainnya itu kata Antonia Anna, misalnya, asma akut. Tapi, biasanya asma akut sebelum meninggal, pasien biasanya akan mengalami sesak nafas dulu.

Dan kemungkinan lainnya, adalah murni gangguan irama. "Akan tetapi, biasanya hal ini tidak bisa mendadak," katanya.

Sedangkan gangguan irama itu sendiri, lanjut Antonia Anna, juga banyak macamnya dan‎ bervariasi.

Hal itu, ‎bisa dikarenakan gangguan irama dari lahir yang tidak ketahui, atau gangguan irama yang timbul oleh berbagai masalah dan istilahnya lingkungan.

Misalnya, karena kecapekan, minum kopi atau teh yang berlebihan, kurang tidur atau kurang istirahat, banyak pikiran, dan lainnya.

Sedangkan gangguan irama, bisa karena jantung koroner (pembuluh darah jantung), karena gangguan otot jantung, atau otot jantung murni, atau listrik jantung murni, atau katup jantung.

"Kalau karena lingkungan tadi, bisa saja campuran jantung dengan lingkungan atau lingkungan saja," kata Antonia Anna.

Dia menekankan, sebenarnya yang lingkungan itu, biasanya dan ‎pada umumnya bukan penyebab, tapi lingkungan adalah pencetus.

"Jadi penyebab dan pencetus itu beda," katanya.

Dia menjelaskan, kalau penyebab misalnya, penyebab kematian mendadak itu adalah salah satunya penyumbatan koroner.

Sedangkan kalau pencetus misalnya, dia sedang emosi atau sedang capek mendadak serangan jantung.

"Kalau saya melihat kegiatan almarhum (Didi Kempot) yang seabrek-abrek luar biasa itu, dengan aksi kemanusiannya yang luar biasa, kemungkinan kecapekan sebagai pencetus itu sangat mungkin," ungkap Antonia Anna.

Jadi sebelumnya, mungkin almarhum sudah ada pencetusnya, tapi tidak sempat dikendalikan, kontrol ke rumah sakit, dokter, atau sudah konsultasi tapi waktu itu belum berat.

"Kondisinya masih stabil, sehingga tidak perlu pengobatan dan lainnya. Atau kondisi stabil kemudian karena kecapekan menjadi tidak stabil. Jadi kecapekan menjadi sebagai pencetus," katanya.

Atau memang sebenarnya beberapa hari ini, almarhum sudah mulai ada gejala seperti serangan jantung dan sebelumnya sudah mengalami tidak enak badan.

‎Antonia Anna kembali menjelaskan, gejala serangan jantung itu sendiri ada yang tidak jelas dan ada yang jelas.

Gejala serangan jantung‎ yang tidak jelas itu misalnya, saat dicek EKG (elektrokardiogram) hasilnya masih normal, dicek enzim jantungnya masih normal.

Oleh sebab itu, kata Antonia Anna, untuk menyikapi hal seperti itu caranya, mempertajam seseorang ada kemungkinan serangan jantung atau tidak.

"Artinya harus waspada diri. Waspada itu harus introspeksi diri. Misalnya, saya ini merokok atau tidak, saya ini punya darah tinggi tidak, saya punya kencing manis tidak, kolesterol saya bagaimana? Saya olahraga atau tidak, saya stres atau tidak," katanya.

‎"Dan satu lagi faktor yang penting, saya ada faktor keturunan tidak. Jadi harus instropeksi, kebanyakan orang mengabaikan. Mereka merasa, ah saya masih muda, nggak mungkin, saya tidak ada keluhan jadi nggak mungkin," ucapnya.

Padahal, lanjut ‎Antonia Anna, di dunia kedokteran ada istilah yang namanya silent kill‎er.

Dia mencontohkan, orang hipertensi atau darah tinggi sebagian besar tidak ada keluhan.

Begitu juga, orang yang kencing manis (diabetes) sebagian besar tidak ada keluhan.

‎"Keluhan itu baru mulai timbul apabila, tensi dan gulanya sudah tinggi sekali," katanya.

Oleh sebab itu, banyak faktor resiko yang sifatnya silent. ‎Jadi orang hanya instrospkesi diri berdasarkan gejala, itu salah dan sudah terlambat.

"Kalau kita menunggu gejala timbul, sudah terlambat. Apalagi usia almarhum sudah 53 tahun. Padahal laki-laki biasanya 40 tahun dianjurkan untuk check up kesehatan," kata ‎Kepala Departemen Kardiovaskular di Universitas Pelita Harapan dan Pusat Jantung Rumah Sakit (RS) Siloam Lippo Village itu. (*)