Ini 7 Tips Memilih Waktu Melaksanakan Shalat Malam

BERITA TERKINI - Sebelum Nabi Muhammad Saw. menerima wahyu shalat lima waktu, beliau menerima titah untuk menjalankan shalat malam. Perintah tersebut berlaku pada awal-awal masa kerasulan, persis setelah surah Al-Muzzammil turun. Nabi melaksanakan shalat malam mulai dari semalam penuh, dua pertiga malam, setengah, bahkan hingga sepertiganya.

Menyangkut kadar bangun dan melaksanakan shalat malam, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan tujuh tips memilih waktu melaksanakan shalat malam yang didasarkan pada durasi pelaksanaannya.

Pertama, menghidupkan keseluruhan waktu malam untuk menyembah Allah Swt. Hal tersebut merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang kuat (al-aqwiya’). Mereka memaksimalkan seluruh waktunya untuk beribadah. Mereka bermunajat kepada Allah di seluruh waktu malamnya seakan menjadi hidangan yang mengenyangkan dan penetram hati.

Orang yang berada pada tingkatan inilah yang kemudian disebut Al-Ghazali sebagai orang-orang yang menjalankan shalat Subuh dengan wudhu shalat Isya. Mereka tidak pernah merasa payah untuk menjalankannya sepenuh malam. Bahkan ketika orang lain sibuk bekerja di siang hari, mereka tetap terjaga dan sanggup bekerja sebagaimana mestinya.

Hal ini dibuktikan dengan riwayat yang disampaikan oleh Abu Thalib al-Makki, bahwa pernah ada 40 orang tabiin yang melanggengkan amalan ini selama 40 tahun. Di antara mereka ialah Sa’id bin Al-Musayyab, Shafwan bin Salim, Wahab bin Munabbah, dan lain-lain.

Kedua, melaksanakan shalat malam dengan kadar setengah dari keseluruhan malam. Pada tingkatan yang kedua ini, sangat banyak orang-orang saleh yang melaksanakannya. Imam Al-Ghazali juga menawarkan sebuah cara yang paling baik untuk melaksanakannya.

Cara itu dilakukan dengan tidur terlebih dahulu di sepertiga malam awal dan seperenam akhir. Cara ini bertujuan agar shalat malam yang dilakukan dapat berada pada waktu yang paling utama, yakni waktu tengah malam.

Ketiga, menjalankan shalat dengan durasi sepertiga waktu malam. Sebelum melakukannya, dianjurkan untuk tidur dahulu sekitar setengah malam, pada bagian awal malam. Kemudian menyambung tidur kembali selama seperenam malam bagian akhir sebelum Subuh. Tidur sebentar sebelum subuh dianjurkan dengan tujuan mengurangi potensi kantuk ketika pagi datang. Para ulama sangat tidak suka tidur di pagi hari.

Demi menghindari terganggunya aktivitas seseorang di pagi hari karena alasan mengantuk, maka sebagian ulama salaf ada yang menghukumi bahwa tidur sesaat sebelum Subuh hingga waktu subuh tiba itu hukumnya sunah. Di antara sahabat yang menyebut demikian ialah Abu Hurairah. Beliau mendasarkannya pada cerita Sayyidah A’isyah tentang Nabi Muhammad Saw.



كَانَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوْتَرَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَإِنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ إِلَى أَهْلِهِ دَنَا مِنْهُنَّ، إِلَّا اضْطَجَعَ فِي مُصَلَّاهُ حَتَّى يَأْتِيْهِ بِلَالٌ فَيُؤَذِّنُهُ لِلصَّلَاةِ.

“Ketika Rasulullah Saw. melaksanakan shalat witir pada akhir malam, apabila beliau memiliki hajat terhadap keluarganya, maka beliau mendekati mereka. Apabila tidak, maka beliau berbaring di tempatnya shalat hingga Bilal mendatangi beliau, lantas mengumandangkan azan shalat.” (H.R. Muslim)

Keempat, seperlima atau seperenam malam. Adapun waktu yang paling utama untuk melaksanakannya ialah dimulai setelah setengah malam, hingga sebelum seperenam malam di bagian akhir, sebelum waktu shalat Subuh.

Kelima, seseorang hendaknya tidak membiarkan waktunya berlalu begitu saja tanpa bermunajat kepada Allah Swt. Apabila takut terlelap untuk menjalankan shalat di tengah malam, maka bisa disiasati dengan beribadah di awal malam hingga ia tertidur. Kemudian menyambungnya tatkala ia kembali terjaga, sesuai dengan kadar kemampuannya.

Tingkatan ini didasarkan pada bangun malamnya Rasulullah Saw. yang tidak hanya dihitung ketetapan kadarnya. Merujuk berbagai riwayat, Rasulullah pernah menjalankannya semalam penuh, dua pertiga, setengah, bahkan sepertiga. Keterangan ini juga didasarkan pada Al-Qur’an surah Al-Muzzammil ayat 20.

إِنَّ رَبَّكَ یَعۡلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدۡنَىٰ مِن ثُلُثَیِ ٱلَّیۡلِ وَنِصۡفَهُۥ وَثُلُثَهُۥ وَطَاۤىِٕفَةࣱ مِّنَ ٱلَّذِینَ مَعَكَۚ

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu.” [Q.S. Al-Muzzammil (73): 20]

Keenam, sekadar menjalankan shalat empat rakaat setelah tengah malam. Apabila tidak mampu, maka sekadar dua rakaat. Setelah itu, duduk sejenak menghadap kiblat untuk mengingat Allah Swt.

Ketujuh, apabila tak mampu menjalankan shalat di tengah malam, maka jangan sampai meninggalkan untuk menghidupkan waktu di antara shalat Maghrib dan shalat Isya (‘isya’aini). Selain itu juga menjalankan shalat pada waktu sebelum Subuh, atau pada waktu sahur, dengan tujuan supaya tidak terlelap tatkala Subuh tiba.

Tingkatan yang disebutkan di atas, hanya didasarkan pada lama dan sebentarnya qiyamul lail. Jadi belum tentu tingkatan pertama selalu lebih baik kualitasnya jika dibandingkan dengan tingkatan-tingkatan setelahnya. Sebuah ibadah tidak hanya dinilai atas kuantitasnya semata, tetapi juga kualitasnya. Anda tinggal memilih mana yang sesuai dengan aktivitas sehari-hari. Wallahu a’lam bish shawab.

sumber: bincangsyariah.com