Berita Terkini, PEKANBARU - WALHI Riau menaja sebuah diskusi bertemakan masyarakat adat pada Senin, 16 Agustus 2022. Diskusi ini dilakukan dalam rangkaian peringatan HUT Riau ke-65 dan Hari Masyarakat Adat Internasional sekaligus jelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-77. WALHI Riau menaja diskusi ini sebagai ruang awal konsolidasi masyarakat sipil dan masyarakat adat di Riau untuk mendorong Gubernur Riau untuk mengakselerasi proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui penerbitan produk kebijakan di level provinsi atau kabupaten/ kota.
Even Sembiring, Direktur Eksekutif, WALHI Riau; Hasanuddin, Ketua Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR), Budy Utamy, Penulis Riau; dan Johny Setiawan Mundung, Tenaga Ahli Gubernur Riau, Bidang Lingkungan Hidup menjadi pemantik diskusi yang dilangsungkan di Rumah Rakyat, WALHI Riau. Ringkasan paparan masing-masing pemantik diskusi disajikan pada bagian di bawah.
Even Sembiring, Direktur Eksekutif, WALHI Riau
Sebagai pemantik awal, ia memantik diskusi dari komitmen Riau Hijau sebagaimana dituangkan dalam Peraturan Gubernur Riau Nomor 9 Tahun 2021. Pergub tersebut memuat Rencana Aksi (Renaksi) yang merumuskan enam target utama terkait masyarakat adat, yaitu (1) identifikasi dan penelitian Kesatuan Masyarakat Hukum Adat; (2) pembentukan Gugus Tugas Masyarakat Adat; (3) Penguatan Kelembagaan Adat; (4) Pemetaan Wilayah Hutan Adat; dan (5) Penetapan Peraturan (SK/Perda) Pengakuan Masyarakat Hukum Adat/ Hutan Adat.
Menurut WALHI Riau target masyarakat adat terkait masyarakat adat masih minim. Hal ini seharusnya tidak terjadi karena paling tidak terdapat dua Perda yang dapat digunakan untuk mengakselerasi komitmen tersebut. Kedua perda tersebut, yaitu (1) Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 10 Tahun 2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; dan (2) Peraturan Daerah Provinsi Riau Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Di sisa masa jabatannya, Gubernur Riau seharusnya menaruh urgensi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dalam kerangka Riau Hijau sebagai prioritas.
“Apabila dalam satu bulan ini tidak ada progres kebijakan dan tindakan signifikan yang dilakukan Gubernur, WALHI Riau menawarkan peluang penggunaan jalur litigasi kepada masyarakat adat. Sama halnya, ketika kami pada 2017 memfasilitasi beberapa masyarakat adat untuk menggunakan hak gugatnya untuk menguji Perda Nomor 10/2014. Bukan hanya Gubernur Riau, bahkan para Bupati dan Walikota se Provinsi Riau bisa kita tarik menjadi tergugat karena abai atau sengaja tidak menggunakan kewenangannya menerbitkan kebijakan pengakuan dan perlidungan masyarakat adat,” sebut Even Sembiring.
Hasanuddin, Ketua Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR)
Selain sebagai Ketua IKDR, Hasanuddin juga tercatat sebagai salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Indragiri Hilir. Rasa haru menjeda paparannya ketika mengenang susahnya kehidupan Suku Duanu pada masa kecil, walau saat ini sudah ada kemajuan secara perlahan. Hasanuddin mengakui adanya kelemahan masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Duanu dalam menelaah berbagai kebijakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Hal ini membuat masyarakat adat kesulitan memanfaatkan peluang pengakuan dan perliduangan masyarakat adat.
Posisi WALHI yang menganggap masyarakat adat sebagai sahabat diharapkan di kemudian hari menjadikan Duanu sebagai sahabat sejatinya. Terlebih, masyarakat Duanu mempunyai kearifan yang baik dalam perlidungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Masyarakat adat Duanu yang tinggal di wilayah pesisir memposisikan hutan mangrove sebagai ekosistem penting. Bagi masyarakat Duanu, mangrove merupakan nafas kehidupan. Ekosistem tersebut adalah tempat masyarakat Duanu mengumpul hasil hutan untuk kebutuhan dan menjadi pelindung dari ancaman abrasi. Sayangnya, kearifan menjaga mangrove diganggu aktivitas tebang liar mangrove oleh kelompok orang yang tidak bertangung jawab. Gangguan tersebut tidak terlepas dari masyarakat adat Duanu yang belum diakui sebagai subjek hukum sehingga legalitas atas wilayah adanya tidak diakui. Selain itu, masyarakat adat dalam menangkap ikan dengan alat tangkap ramah lingkungan lagi-lagi diganggu oleh nelayan luar yang menangkap ikan dengan alat tangkap yang merusak, yang mana ukuran alat tangkapnya mengambil habis ikan hingga ukuran kecil.
Saat ini, masyarakat Duanu juga membutuhkan hutan adat yang berada di wilayah darat. Hal ini terlepas dari kondisi cuaca, karena pada musim selatan, masyarakat Duanu tidak dapat melaut dalam waktu satu hingga dua bulan. Sedangkan, di musim utara, pada saat musim gadai sulit untuk melaut juga. Hal ini tentu menyulitkan masyarakat Duanu memenuhi kebutuhan hidupnya. Mitigasi utamanya, masyarakat adat Duanu harus mulai bercocok tanam dan mengumpulkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Legalitas merupakan kebutuhan masyarakat Duanu.
“Kosong bayong membuat kolak, Usah lupa becampo Nyo, Piak Duanu Lap Ne Dolak, Jago Budayo Bangso Kito,” ujar Hasanuddin menutup paparannya.
Budy Utamy, Penulis Riau
Menurut Budy Utami pengaruh kebijakan pemerintah provinsi dan pemerintah daerah yang tidak maksimal menerbitkan kebijakan dan aturan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat adat akan berkonsekuensi pada dua hal. Pertama, menorehkan luka baru atau menorehkan di luka yang setengah kering. Luka baru akan lahir karena laju perizinan dan meningkatkan eskalasi konflik baru, khususny terkait identitas dan kedaulatan atas wilayah adat. Dalam posisi setengah kering, luka yang hampir sembuh akan kembali luka bahkan dapat lebih dalam apabila situasi konflik dan marjinalisasi yang mereka alami tidak segera diselesaikan.
Budy Utami dalam paparannya banyak mengambil contoh yang terjadi di Talang Mamak. Hal ini karena sebagian besar aktivitas menulis dan dokumentasi yang dilakukannya berada di wilayah adat Talang Mamak. Salah satu contoh yang diambilnya adalah kondisi Amai (Ibu) di Talang Mamak. Amai yang hampir setiap hari beraktivitas di ladang yang tidak lagi banyak karena dirampas melalui legalitas perizinan lain sering berpikir apakah tanah yang saat ini mereka kerjakan masih cukup untuk anak keturunan berikutnya. Terkait posisi penting alam dan identitas adat di Talang Mamak dapat dilihat dari keberadaan mata air abadi di wilayah adat Talang. Pada 2016, kondisi mata air masih sangat bagus. Mata air tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi mereka percaya ketika sakit, mata air tersebut menjadi salah satu obat yang dapat menyembuhkan. Apabila pengakuan dan perlindungan negara tidak segera dilakukan, tidak menutup kemungkinan mata air tersebut tidak lagi ada dan kita akan duduk kembali seperti ini mendiskusikan kondisi masyarakat adat.
Budy Utamy juga menyebut fokus Riau Hijau dalam perlindungan masyarakat adat tidak masuk pada persoalan substansi. Belum menyentuh kebutuhan pembentukan kelembagaan dan penguatan substansi produk hukum. Keindahan budaya masyarakat adat hanya disajikan dalam tari-tarian, dianggap objek indah tapi tidak mendudukkan mereka seutuhnya sebagai subjek.
“Kepekaan pemerintah untuk memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Riau harus dilakukan dengan memposisikan mereka selaku negara sebagai bagian dari masyarakat adat. Pemerintah harus berhenti mengambil posisi sebagai outsider, mereka harus ambil keputusan menjadi bagian dari masyarakat adat, harus menjadi insider. Sehingga derita dan kesusahan masyarakat adat membuat Gubernur dan pemerintah lain dapat mereka rasakan dan mengesahkan terbitnya peraturan dan tindakan yang dibutuhkan,” sebut Uut, biasa ia disapa.
Johny Setiawan Mundung, Tenaga Ahli Gubernur Riau, Bidang Lingkungan Hidup
Mundung memulainya dengan bagaimana Gubernur Riau merespon persoalan dan aduan masyarkat adat Talang Mamak secara langsung. Gubernur menerima langsung mereka, tidak mendisposisikannya kepada Kepala Dinas. Terkait Riau Hijau, ia menjelaskan bahwa komitmen ini lahir dan dirumuskan langsung dari usulan NGO. Sehingga komitmen ini merupakan bukan sekedar komitmen Gubernur, tapi komitmen bersama.
Lambannya proses birokrasi pengakuan dan perlindungan masyarakat adat merupakan persoalan yang sama di bidang lain. Mundung menyebut Gubernur bahwa proses-proses akselerasi kebijakan dan tindakan di level ASN yang dibutuhkan masyarakat memang perlu “ditokok” oleh kelompok masyarakat sipil. Hal ini akan mendorong mereka bekerja lebih cepat. Selain itu, Pemerintah Provinsi juga mengalami kendala keterbatasan kewenangan melahirkan produk hukum di tingkat kabupaten/ kota. Akselerasi proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di lintas kabupaten/ kota tentu akan diakselerasi dengan cepat oleh Gubernur. Contohnya, penerbitan Keputusan Gubernur dalam pengakuan entitas Masyarakat Adat Sakai yang wilayah adatnya berada di lintas Kabupaten (Siak dan Bengkalis).
“Hasil diskusi ini menjadi masukan penting bagi kami dan akan disampaikan kepada Gubernur, semoga ditindaklanjuti langsung. Kritik dan masukan teman-teman menjadi “penokok” untuk kami untuk mendorong tahapan penguatan kelembagaan dan kebijakan yang dibutuhkan untuk menyegerakan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Riau,” tutup Mundung.
Penggunaan baju adat, tari dan beragam kesenian merupakan satu hal yang baik untuk mengenalkan keberagaman suku dan etnik di Indonesia. Namun, di usia Riau yang ke-65 dan usia kemerdekaan ke-77, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus masuk ke ruang yang jauh lebih substantif. Mengambil tindakan dan kebijakan yang memastikan masyarakat adat di Riau dan Indonesia mendapat legalitas sebagai subjek hukum dan berdaulat atas tanahnya. Sehingga, tahun ini dapat menjadi tahun terakhir, masyarakat adat dan berbagai komunitas menanyakan “Tanah air ini milik siapa?”.***(rls)