Berita Terkini, PEKANBARU — Jaringan Kerja Penyelamata Hutan Riau (Jikalahari) mendesak Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) untuk serius merehabilitasi mangrove di Riau, khususnya di Bengkalis dan Indragiri Hilir.
Temuan Jikalahari dari kajian dampak kualitas mangrove terhadap ekologi, sosial, ekonomi dan kearifan lokal di Bengkalis dan Indragiri Hilir menunjukkan penyebab kegagalan rehabilitasi mangrove akibat ketidakseriusan dalam upaya rehabilitasi mangrove oleh Pemerintah.
“Kajian ini melihat pentingnya mangrove bagi masyarakat dan ekosistem di sekitarnya. Juga bagaimana upaya rehabilitasi mangrove dan penyebab kegagalan rehabilitasi di lapangan khususnya yang dikerjakan oleh pemerintah,” Kata Okto Yugo Setyo Wakil Koordinator Jikalahari. Kajian ini dibuat oleh Jikalahari bersama lembaga anggota Jikalahari - Kelompok Studi Lingkungan dan Masyarakat (Keslimasy) di Bengkalis dan Bangun Desa Payung Negeri (BDPN) di Indragiri Hilir- yang memang fokus terhadap isu mangrove dan bekerja serta bertempat di daerah.
Hasil kajian tersebut disampaikan langsung kepada Ir Hartono, M.Sc, Kepala BRGM didampingi Dr. Ir. Ayu Dewi Utari, M.Si. Sekretaris Badan, Prof. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Sc., Deputi Perencanaan dan Evaluasi dan Ir. Gatot Soebiantoro, M.Sc., Deputi Pemberdayaan Masyarakat pada 24 Oktober 2022 di kantor BRGM RI, Jakarta Pusat.
Direktur BDPN, Zainal Arifin Husain menyampaikan hasil kajian yang dilakukan di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Tanah merah Indragiri Hilir. Kajian menemukan adanya aktivitas penebangan kayu bakau yang masif lebih dari 2.500 batang per hari di beberapa titik di wilayah Desa Tanjung Pasir. Dampaknya hutan mangrove menjadi rusak dan menyebabkan intrusi air laut dan mengakibatkan rusaknya perkebunan kelapa rakyat seluas 1.500 ha. “Dampak lebih jauh, masyarakat kehilangan pendapatan, menjadi miskin hingga eksodus mencari tempat tinggal baru,” kata Zainal.
BDPN juga menekankan pentingnya menyelamatkan mangrove yang ada. Penting untuk membuat kebijakan mencegah perusakan mangrove serta membangun kesadaran untuk menjaga mangrove. “Dalam upaya rehabilitasi, BRGM harus selektif terhadap usulan kelompok masyarakat dengan pertimbangan urgensi wilayah yang terdampak parah akibat abrasi dan intrusi air laut yang merusak perkebunan kelapa Rakyat dan Perlindungan kawasan pesisir,” kata Zainal “BRGM juga harus mengalokasikan anggaran untuk perawatan dan pengawasan setelah penanaman mangrove.”
Saat ini BDPN bersama Jikalahari mendampingi Suku Duanu yang tersebar di 13 desa. Mereka memiliki ketergantungan terhadap hutan mangrove terkait dengan mata pencaharian sebagai nelayan dan untuk melindungi pemukiman. “Kami juga sedang mendorong usulan perhutanan sosial di 28 desa wilayah mangrove termasuk 13 desa yang ditempati suku duanu. Nantinya akan lebih mudah dalam mengelola dan menjaga hutan mangrove tersebut bagi mereka,” kata Zainal
Muhammad Iskandar, Ketua keslimasy menjelaskan hasil kajian mangrove di Desa Deluk, Selat baru dan Pambang Pesisir, Kecamatan Bantan, Bengkalis. Keslimasy menemukan bahwa hilangnya hutan mangrove mengakibatkan abrasi di pesisir Selat Melaka pulau Bengkalis, khususnya di lokasi kajian mengakibatkan abrasi hingga 35 meter pertahun. “Tingginya abrasi di Bengkalis menyebabkan rusaknya insfrastruktur, pemukiman warga hingga merubah batas negara yang berbatasan langsung dengan Malaysia,” kata Iskandar.
Penyebab rusaknya mangrove di antaranya adalah Kerusakan tersebut diakibatkan oleh penebangan mangrove untuk pemenuhan panglong arang dan kebutuhan cerocok. Penyebab kerusakan lainnya ialah konversi hutan mangrove menjadi industri tambak udang. “Sayangnya usaha tambak udang masih dianggap sebagai investasi yang akan menguntungkan hingga pemerintah daerah memberikan lampu hijau kepada para pengusaha tambak udang,” kata Iskandar.
Kajian juga menemukan upaya rehabilitasi program PKPM di Desa Deluk, Selat Baru dan Pambang Pesisir dapat dikatakan gagal. Kegagalan tersebut disebabkan koordinasi yang tidak partisipatif, hingga pendamping tidak kompeten dan mengabaikan kualitas proses penanaman mangrove.
Penanaman tidak menggunakan bibit yang siap tanam, identifikasi struktur vegetasi mangrove, tidak memperhatikan musim angin dan lokasi penanaman tidak memungkinkan karena tidak memiliki APO. Padahal lokasi tersebut berhadapan langsung dengan ombak dari laut Selat Malaka. “Upaya rehabilitasi tidak didasarkan pada pengetahuan, sehingga mengabaikan faktor-faktor penting agar mangrove dapat tumbuh. bahkan ajir yang digunakan untuk penanaman mangrove itu sendiri menggunakan kayu anakan mangrove itu sendiri,” kata Iskandar.
Iskandar juga menekankan agar intervensi BRGM menyasar pulau Bengkalis secara menyeluruh dan tidak parsial. “Pulau kami terancam tenggelam Pak, Kami minta BRGM agar bisa mengintervensi pulau kami secara menyeluruh tidak setengah-setengah,” kata Iskandar.
Hartono menegaskan dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove ke depannya harus memperhatikan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk keberhasilan rehabilitasi mangrove. Seperti kondisi angin musim gelombang, jenis dan kualitas bibit. Di Indonesia ini musim angin yang menghasilkan gelombang kuat itu berbeda beda jadi memang butuh rencana teknis sesuai dengan lokasi rehabilitasi dan menggunakan Alat Pemecah Ombak (APO). Saat ini untuk wilayah Sumatera, masa tanam terbaik sudah lewat dan akan dimulai lagi pada awal 2023, dan BRGM akan fokus di wilayah Jawa. “Kami juga mendukung untuk pengelolaan mangrove melalui skema perhutanan sosial. Ini juga memperkuat kelembagaan di tingkat masyarakatnya untuk pengelolaan mangrove, termasuk mendorong untuk menjadi Desa Mandiri Peduli Mangrove,” kata Hartono.
“Kami berterimakasih kepada Jikalahari yang sudah memfasilitasi kajian terkait mangrove ini. Tentu ini menjadi informasi yang sangat penting dan akan menjadi referensi kita dalam upaya rehabilitasi mangrove di 9 provinsi prioritas. Ke depan untuk intervensi rehabilitasi mangrove, khususnya di Bengkalis dan Indragiri Hilir kami akan mengajak dan berkoordinasi bersama teman-teman mendukung aktivitas tersebut,”.***(rls)