Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi

Kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin "dedecorio" atau "decorateus", dan dikatakan bahwa kata "korupsi" berasal dari bahasa Latin kuno "corrumpe" diterjemahkan dari bahasa Latin ke bahasa Eropa, seperti bahasa Inggris, menjadi korup dan korup; dalam bahasa Prancis ada korupsi; dalam bahasa Belanda menjadi korup (destruktif) (Hamzah, 2005).

Menurut Zaenal dalam Eksiklopedia Indonesia, ada yang mengatakan bahwa korupsi berasal dari kata korupsi yang artinya suap, dan korupsi berasal dari kata korupsi yang artinya destruktif. Oleh karena itu, korupsi merupakan gejala penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat instansi pemerintah yang berujung pada penyuapan, pemalsuan, dan konsekuensi lain yang tidak diinginkan (Zainal, 2016).

Secara harfiah, kata korupsi dapat berarti kejahatan, kekejaman, penyuapan, maksiat, korupsi dan ketidakjujuran, perilaku buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya; perbuatan yang kenyataannya dapat menimbulkan keadaan yang bersifat buruk (Soekanto & Mamudji, 2006). Oleh karena itu definisi korupsi begitu luas, dan banyaknya permasalahan yang muncul dari perilaku tersebut juga menyebabkan rendahnya moralitas sosial, dan definisi korupsi pun semakin diperkuat. Justru karena pemerasan (pungutan liar), manipulasi, penyuapan, penindasan dan intimidasi yang membuat masyarakat merasa sengsara, yang menunjukkan ciri-ciri korupsi. Situasi ini sangat serius dan telah merembet ke seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Dalam rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 21 sampai dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka yang dimaksudkan dengan pelaku ialah “setiap orang”, yang berarti orang perseorangan atau korporasi. Sementara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 pelaku itu dirumuskan sebagai “barang siapa”, yakni siapa saja atau orang perseorangan saja. 

Dengan demikian penjelasan tentang pelaku dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 lebih luas dari pengertian dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang dimaksud dengan pelaku tindak pidana korupsi diperluas lagi yang meliputi penyelenggara negara, pemborong, ahli bangunan, orang yang menjalankan jabatan umum terus menerus atau sementara waktu, hakim atau advokat. 

Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999).

Kebijakan kriminal dalam penanggulangan tindak pidana korupsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengatasi kejahatan ini. Dalam konteks ini, mari kita telaah beberapa aspek terkait kebijakan penanganan tindak pidana korupsi :

1. Peran Hukum sebagai Pengayom :

 Hukum memiliki peran sebagai pengayom masyarakat. Namun, terkadang hukum tidak berfungsi sepenuhnya sebagai sarana pengendalian sosial, perubahan sosial, dan sarana integratif.

 Kebijakan kriminal harus memastikan bahwa hukum berfungsi secara efektif dalam menangani tindak pidana korupsi.

2. Formulasi Kebijakan Hukum Pidana :
 Kebijakan formulasi hukum pidana, terutama yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi saat ini, memiliki beberapa kelemahan mendasar :

 Kualifikasi Delik: Kebijakan hukum pidana belum selalu jelas dalam mengkategorikan tindak pidana korupsi sebagai “pelanggaran” atau “kejahatan.”

 Permufakatan Jahat: Definisi atau batasan yuridis mengenai “permufakatan jahat” juga belum selalu tegas.

 Pemberantasan Non-Korupsi: Kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi masih tersebar di beberapa undang-undang dan menggunakan sanksi berdasarkan undang-undang yang berbeda.

3. Pencegahan Korupsi :

 Selain penanganan setelah terjadi, pencegahan korupsi juga sangat penting.

 Upaya pencegahan melibatkan memperkuat lembaga peradilan, membangun kode etik di sektor publik dan partai politik, serta melakukan penelitian lebih lanjut tentang penyebab korupsi secara berkelanjutan.

Semoga kebijakan yang komprehensif dan efektif dapat membantu mengurangi tindak pidana korupsi dan melindungi keuangan negara serta perekonomian rakyat.***

Penulis :

Nama : ANDI SAGITA, S.H.
Judul : KEBIJAKAN KRIMINAL DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
            KORUPSI
Mahasiswa : PROGRAM PASCA SARJANA : MAGISTER HUKUM
UNIVERITAS ISLAM INDRAGIRI