Hot Issue : Gerindra Gabung Koalisi Jokowi. Mungkinkah?

Hot Issue : Gerindra Gabung Koalisi Jokowi. Mungkinkah?

Oleh : Hersubeno Arief

Mungkinkah Partai Gerindra bergabung ke dalam koalisi Jokowi?

Spekulasi politik liar itu muncul dipicu oleh pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Bolanya terus menggelinding dan tampaknya sengaja digoreng oleh para buzzer Jokowi.

“Ya politik, enggak ada yang enggak mungkin, serba mungkin. Sangat mungkin lah,” kata Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (31/5).

Moeldoko mengaku pihaknya terus mendorong pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Kemungkinan akan dilakukan setelah lebaran.

Menko Maritim Luhut Panjaitan juga mengaku terus melakukan komunikasi dengan Prabowo yang kini tengah melakukan perjalanan ke luar negeri. Dia mengaku mengingatkan Prabowo untuk berhati-hati dengan bisikan orang-orang di sekitarnya.

Melihat konteks beritanya, pernyataan Moeldoko tampaknya menjawab pertanyaan wartawan. Jawabannya terkesan sambil lalu. Namun melihat gigihnya usaha kubu Jokowi melakukan lobi mendekati Prabowo, upaya menggaet Gerindra sesungguhnya menjadi prioritas utama mereka.

Klasifikasinya Top Urgent! Di atas segala-galanya. Dengan segala cara dan berapapun besar biayanya, misi itu harus terlaksana.

Bila berhasil, hal itu akan menjadi akuisisi politik terbesar bagi Jokowi. Melengkapi keberhasilannya menggaet Demokrat, dan kemungkinan PAN.

Setidaknya ada empat keuntungan sekaligus yang bakal diperoleh Jokowi jika mission (im) possible itu bisa terwujud.

Pertama, dengan masuknya Gerindra berarti Prabowo dapat ditundukkan. Prabowo dan Gerindra merupakan satu paket.

Tinggal seberapa besar paket kompensasinya secara politik dan bisnis yang ditawarkan. Yang pasti dijanjikan adalah paket menteri di kabinet. Jumlahnya harusnya banyak, karena perolehan suara Gerindra terbesar setelah PDIP.

Tidak cukup hanya kursi menteri yang ditawarkan. Rumor yang santer berkembang ada umpan besar  lain yang disiapkan, yakni paket mengganti cawapres Ma’ruf Amin.

Meminjam kalimat Moeldoko, dalam politik semuanya serba mungkin.

Secara matematis paket mengganti wapres ini bisa diterima semua partai pendukung. Dilihat dari sisi usia, kemungkinan Prabowo maju lagi pada Pilpres 2024 sangat kecil.

Bagi para putra dan putri mahkota, pasangan Jokowi-Prabowo, sama amannya dengan pasaangan Jokowi-Ma’ruf. Kalau toh harus ditukar, atau tukar tambah, tidak ada masalah.

Aman bagi Puan Maharani. Aman buat Agus Harimurti. Aman bagi Muhaimin Iskandar, dan aman juga buat Golkar. Pendek kata aman buat siapapun yang berencana maju pada Pilpres 2024. Yang pasti tidak aman hanya Ma’ruf Amin

Kedua, dengan ditundukkannya Prabowo maka perlawanan kubu oposisi juga dapat sekaligus dipatahkan. Secara politis ongkosnya jauh lebih murah.

Tak perlu ada lagi kekhawatiran bakal muncul unjuk rasa besa-besaran setelah lebaran.

Kubu oposisi tak lagi punya dasar legitimasi untuk terus melakukan perlawanan. Sang calon presiden saja sudah menerima, lantas apa pula dasarnya kelompok oposisi terus melawan.

Ketiga, gugatan terhadap kecurangan Pilpres 2019 tutup buku. Gugatan di MK langsung ditarik. Selamat lah rezim Jokowi dari kemungkinan ditelanjangi di depan publik karena berbagai kecurangan dibongkar di sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Keempat, basis legitimasi pemerintah menjadi sangat kuat. Jokowi tidak perlu lagi dihantui kekhawatiran bahwa mayoritas rakyat Indonesia menolaknya.

Gabungan perolehan suaranya dengan perolehan suara Prabowo-Sandi membuat basis legitimasi pemerintahannya tak terbantahkan lagi.

Alasan terakhir ini jauh lebih penting dibandingkan tiga poin keuntungan sebelumnya. Seorang presiden memerintah dengan basis legitimasi yang lemah, ibarat seorang penguasa duduk di atas singgasana yang goyah.


Apa Prabowo mau?
Berbagai skenario di atas bakal terwujud dengan syarat Prabowo mau, bersedia menukar prinsip-prinsip pribadi yang selama ini dia pegang teguh dengan godaan kekuasaan.

Sebagai kesatria, Prabowo sudah berjanji akan mengikuti apa kata pendukungnya. Dia berjanji akan berjuang bersama rakyat sampai titik darah penghabisan.

Sejauh ini militansi pendukung Prabowo belum mengendur. Mereka tetap menuntut Jokowi didiskualifikasi karena melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM).

Godaan politik semacam ini bukan untuk pertamakalinya disodorkan kepada Prabowo. Pada Pilpres 2014 selepas kalah dari Jokowi-JK, Golkar, PPP, dan PAN menyeberang. Prabowo bersama PKS tetap bertahan di Koalisi Merah Putih (KMP).

Pada awal pencalonan Pilpres 2019 Prabowo kembali digoda. Dia diiming-imingi Luhut Panjaitan menjadi cawapres Jokowi. Dia tinggal duduk manis dan terima bersih menjadi wapres. Kalau Prabowo bersedia kemungkinan akan terwujud calon tunggal. Namun Prabowo juga tidak bersedia.

Tak lama setelah pemungutan suara tanggal 17 April lalu kubu Jokowi melalui Luhut Panjaitan juga kembali gencar mengajak Prabowo bertemu. Semuanya ditolak. Namun belakangan Prabowo bersedia bertemu Wapres Jusuf Kalla.

Apakah setelah berbagai penolakan itu kini Prabowo bersedia melakukan kompromi?

Sejarah akan mencatat konsistensi antara ucapan dan perbuatan Prabowo.

Mumpung masih dalam bulan Ramadhan perlu diingatkan, bahwa dalam Islam kualitas amal seseorang dinilai pada amalan akhirnya. Berakhir baik (husnul khatimah), atau berakhir buruk (su’ul khotimah) end