Sengketa Pilpres, Kemana MK Pergi?

Sengketa Pilpres, Kemana MK Pergi?

Oleh Margarito Kamis

Pilpres belum berakhir, apapun argumennya. Hasil pilpres yang diumumkan KPU pada tanggal 21 April dini hari itu sedang disengketakan di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada tanggal 14 Juni nanti MK akan bersidang, memeriksa, mengadili dan memutus dalam arti menetapkan hukum atas sengketa itu. Semua kemungkinan masih tersaji disepanjang jalan ini. 

Bisa saja MK mengabulkan dan bisa pula menurut hukum MK menolak permohonan itu. Bila MK mengabulkan permohonan, masih harus dilihat hal-hal apa saja yang dikabulkan, juga apakah dikabulkan seluruhnya atau sebagian? Mengabulkan atau menolak sepenuhnya tergantung pada apakah bukti –surat, saksi, saksi ahli, dan video atau bukti elektronik lain yang diajukan kredibel atau tidak? Bila kredibel, masih harus dilihat dalil apa saja yang terbukti? Bila semua dalil terbukti kredibel, dan diyakini “mempengaruhi perolehan suara”, maka MK dalam amarnya pasti memberi perintah positif. Sebaliknya bila MK menolak permohonan itu, maka berakhir sudah pilpres ini. Bersamaan dengan diterimanya putusan MK itu, KPU melalui pleno penetapan menetapkan capres-cawapres terpilih. 

Teks dan Meta Teks 

Hukum yang mengurusi politik dalam pengertian umum, pertarungan dua kutup politik disepanjang sejarah tidak sepenuhnya ditentukan oleh teks. Independensi pengadilan, sesuatu yang begitu diagungkan dalam negara hukum demokratis tidak berbicara sendiri. Independensi bergantung pada sejumlah syarat. Bila syarat itu tak terpenuhi maka independensi lebih merupakan mantra politik. 

Munculnya ide kalkulatif tentang jumlah kursi di kabinet yang harus didapat peserta kolisi Jokowi-Ma’ruf, imbauan demi imbauan agar Jokowi  segera bertemu Prabowo, keduanya segera rekonsailiasi, dan dan pembicaraan sengketa ini berakhir dengan kemenangan mengagumkan, serta lainnya yang sejenis adalah tampilan praktis perspektif di atas.Tidak lebih. 

Tetapi seberapa signifikan cuaca dan tensi politik yang terbentuk di luar sidang muncul menjadi faktor determinan lahirnya putusan, harus ditimbang, sekecil apapun. Memang tidak bisa disajikan secara apa adanya, tetapi mengabaikannya menjadi hal menggelikan. Baagaimanapun baju hukum yang namanya “independensi” tidak bakal bisa berubah menjadi besi. Baju itu tetap baju politik, yang diberi sifat hukum.

Tetapi justru itulah menariknya. Memang bila sejarah sengketa pilpres di MK dipanggil bicara pada kesempatan pertama, maka yang dibicarakan dalam sidang ini akan sama dengan yang sudah-sudah. Sidang hanya akan memeriksa hal-hal tentang angka-angka perolehan suara. Ini yang suka atau tidak menjadi jantung pemeriksaan, dan perdebatan berkelas dalam ruang sidang. Tidak lebih. Itu saja. 

Tidak mungkin, siapapun yang mengoreksi angka-angka yang diperolehnya tidak mendalilkan, tentu dengan serangkaian argumen angka-angka yang diperolehanya seharusnya tidak begitu, tetapi begini. Angka yang kami peroleh di daerah ini jadi hanya segini, karena di TPS ini dan ini, termasuk mungkin PPK ini dan PPK itu melanggar aturan ini dan itu. Pasti itu. Bisa saja jumlah suara di TPS yang telah dihitung tidak sama dengan jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar hadir, dan daftar hadir tidak sama dengan DPT. Bagaimana bila daftar hadirnya tidak dapat diajukan dalam sidang, termasuk DPT? Bila ini yang terjadi maka harus diperiksa apa yang menjadi sebab daftar hadir tidak ada, begitu juga DPT? Itu sekadar gambaran hipotetik. 

Bilapun sidang nanti terkerangka dalam debat konservatif tipikal –teks- pasal 457 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, tetap saja menantang. Mengapa? Bagaimana logikanya debat selisih perolehan angka tidak didasarkan pada “tata cara” yang merupakan terminologi ayat (5) pasal 6A UUD 1945? Tidak ada seorangpun yang bicara secara logis tentang selisih perolehan angka tanpa menghubungkan dengan “tata cara” lahirnya angka itu. Di titik itu relefan megajukan pertanyaan kemana MK pergi menemui akhir kasus ini? Pergi sejauh dan terbatas pada “tata cara” memperoleh angka? 

Bila ya, maka MK mesti cerdas dan memadatkan argumen menjelaskan apakah semua tahapan pemilu tidak memiliki sifat dan kapasitas konstitusional sebagai “tata cara atau persedor atau mekanisme”? 

Bila MK berpendirian tahapan lain dalam pemilu bukan atau tidak memiliki sifat dan kapasitas konstitusional sebagai “tata cara” lalu mau disebut apa “norma tata cara” dalam pasal 6A ayat (5) UUD 1945? Apakah MK hendak mengatakan norma tata cara dalam pasal 6A ayat (5) hanya berlaku untuk penghitungan suara, dan tidak berlaku untuk tahapan lain, sebelumnya dalam semua aspek?

Konsistensi MK memahami dan mengoperasikan norma “tata cara” dalam ayat (5) pasal 6A UUD 1945 menjadi krusial. Bila MK berpendirian “tata cara” berlaku untuk semua tahapan, maka sah MK pergi memasuki konstitusionalitas DPT dan lainnya yang didalilkan pemohon.

Pergilah Ke MetaTeks

Di sanalah di meta teks jiwa hukum, jiwa bangsa menanti kedatanganmu untuk diambil, membawanya pergi untuk menyiram, memupuk, menghidupkan dan mengemudikan bangsa dan negara, perikemanusiaan dan perikeadilan. Kejujuran dan perikeadilan dalam pemilu tak bisa disangkal, sehebat apapun argumen yang digunakan sebagai meta teks dari norma “tata cara” pada ayat (5) pasal 6A UUD 1945.

Selamilah itu, karena meta teks itulah impian bangsa terhujam. Masuklah kesitu karena hanya dengan itu “bangsa yang sekarang terlihat merana ini” menemukan harapan untuk melangkah dengan langkah yang diimpikan para pendiri negara ini. Periksalah DPT dan semua yang lain dalam bingkai dan kerangka kerja “tata cara” sekali lagi ayat (5) pasal 6 UUD 1945. 

Di meta teks itulah akan dikenali secara meyakinkan hakikat larangan campur tangan, interfensi, keterlibatan aparatur pemerintah, terlepas dari jumlah sedikit atau banyak. Di alam meta teks itu pulalah yang memungkinkan interfensi disifatkan sebagai “merintangi, menghambat” pemilu jujur dan adil. Hambatan-hambatan struktural pelaksanaan kampanye capres-cawapres misalnya beralasan, dalam keramgka meta teks, tersifatkan sebagai merusak, setidaknya merintangi bekerjanya prinsip jujur dan adil pemilu. Semuanya bersifat inkonstitusional. 

Masuk dan genggamlah meta teks, karena itu memungkinkan siapapun memiliki kepercayaan yang meyakinkan bahwa DPT adalah soal konstitusional, bukan soal jumlah pemilih yang telah atau belum terdaftar atau orang setengah waras, malah gila yang belum atau telah terdaftar. Bukan, bukan itu. DPT adalah soal konstitusional. 

Dimana letak sifat dan kapasitas konstitusional DPT? Hak warga negara memilih, berpartisipasi dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah hak yang diatur dan dijamin dalam UUD 1945, hak konstitusional. Sekalipun begitu hak konstitusional ini menurut UU Nomor 7 Tahun 2017 hanya bisa digunakan secara efektif bila pemilih memiliki KTP elektronik dan terdaftar dalam DPT. 

Bila syarat ini tak terpenuhi, maka hak konstitusional ini tidak bernilai konstitusional dalam pemilu. Ribuan pemilih misalnya memiliki tanggal lahir yang sama, atau ratusan pemilih tercantum dalam satu KK atau satu KK berisi ratusan jumlah keluarga, atau kode daerah dalam KK tudak sesuai, tidak beralasan secara konstitusi dilihat sekadar salah catat. Tidak. Penilaian tipikal itu tidak memiliki pijakan pengetahuan dalam ilmu konstitusi. Sifat konstitusional satu soal hukum tidak pernah bersifat numerikal. Sifat konstitusional atas satu atau serangkaian hal hukum adalah bersesuaian atau tidak bersesuaiannya hal hukum itu dengan norma.

DPT Pilpres, dalam sifat hukum sesuai UU Nomor 7 tahun 2017 adalah nasional. Sifat nasional ini melahirkan konsekuensi konstitusional berupa cacat pada satu bagian atau pada bagian tertentu, mengakibatkan cacat dalam keseluruhannya. Dalam ilmu hukum dikenal prinsip tindakan hukum yang sedari awal cacat atau salah, karena melanggar prosedur misalnya, tidak dapat melahirkan, dengan alasan apapun, tujuan dan atau hasil yang sah.

Meta teks, dengan demikian merupakan pelita di lorong gelap, menerangi seseorang menemukan jalan di kegelapan itu. Dengan pelita meta teks itu niscaya pemetaan terstruktur, sistimatis dan masif tersaji dengan mudah. Genggamlah metak teks karena disitulah kejujuran dan keadilan bercahaya dengan cahaya otentik. Meta teks membuat peradilan konstitusi menjadi pengawal bangsa, bukan sekadar pengawal konstitusi. Semoga. *** 

Jakarta, 9 Juni 2019