Kenapa Rocky Gerung Bela 212 dan Kritik Jokowi? "Presiden Tak Ngerti Kemajemukan"

Kenapa Rocky Gerung Bela 212 dan Kritik Jokowi?
BERITA TERKINI - Rocky Gerung terang-terangan membela Kelompok 212 saat tampil di ILC TV One Selasa (30/7/2019) malam.

ILC TV One mengangkat tema Teuku Umar atau Gondangdia, Kelompok 212 Mau Ke Mana?

Di acara itu, Rocky Gerung juga memberi kritik keras kepada Presiden RI Jokowi.

Peneliti Perhimpunan Pendidikan dan Demokrasi (P2D), Rocky Gerung mengomentari mengenai posisi kelompok 212 diantara kubu Jokowi dan Prabowo.

Menurut Rocky Gerung, selama pembahasan di Indonesia Lawyers Club tersebut tak ada seorangpun yang menjawab telah keberadaan kelompok 212.

"Dari tadi gak ada yang jawab secara telak soal dimana posisi kelompok 212 karena memang sulit," tutur Rocky Gerung dilansir TribunJakarta.com pada Rabu (31/7/2019).

Bahkan, Rocky Gerung menilai perlu sosok Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk menjawab mengenai keberadaan kelompok 212 diantara kubu Jokowi dan Prabowo.

"Saya kira perlu Donald Trump untuk menjawabnya. Kalau dia kesini sekalian tanya saja 'menurutnya kelompok 212 ke Gondangdia atau Teuku Umar?'," beber Rocky Gerung.

Lantas Rocky Gerung menjelaskan lebih lanjut mengenai analisisnya dengan mengibaratkan Donald Trump yang gagal datang ke Indonesia dan justru Habib Rizieq Shihab yang kembali.

"Andai Rizieq Shihab yang kembali dan makan bersama nasi padang dengan Sandiaga Uno. Pertanyaannya adalah kemana Gondangdia dan Teuku Umar?

Anything goes, itu yang disebut sebagai dinamika. Problem utama dari pembahasan ini ya hal tersebut dan perihal lainnya itu receh," jelas Rocky Gerung.

Rocky Gerung memaparkan, jika eksistensi kelompok 212 dipertanyakan hanya karena pertemuan antar tokoh politik maka seolah-olah 212 merupakan permainan kemarin sore.

"Saya menangkap ada roh jujur di kelompok tersebut lepas dari kontroversinya. 212 bukan permainan politik Prabowo dan memperoleh legitimasinya di Monas.

212 itu adalah tax social bangsa ini, hasil imajinasi bangsa ini dan kita harus menghormatinya," ucap Rocky Gerung.

"Namanya aja 212 padahal dulunya bernama Piagam Jakarta. Nah ngaconya adalah segala konsep bernegara itu lalu disederhanakan sebagai ancaman dan disebut istilahnya teroris. Presiden menyebutkan itu.

Untuk itu, saya ingin Presiden membaca tag social kita sebagai catatan historis agar tak menjadi kedunguan lokal dalam membaca politik. Kan itu yang membuat jengkel kita. Jadi kita diarahkan melihat 212 sebagai musuh negara," kata Rocky Gerung.

Rocky Gerung lantas mempertanyakan soal pernyataan Jokowi 'kami memerlukan oposisi' itu berarti memerlukan dikritik atau untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.

"Kenapa diskusi mengenai tema ini terus berlanjut di masyarakat? Karena enggak ada imajinasi sosial yang diucapkan presiden, selain cebong dan kampret yang udah selesai.

Ide tentang bernegara tak diucapkannya dan ia hanya mengucapkan prestasi yang diraihnya selama 5 tahun memimpin," aku Rocky Gerung.

Bahkan, Rocky Gerung menyatakan Jokowi kurang paham soal kemenangan yang harus difungsikan bentuk baru dari social tags. 

"Nah itu yang menyebabkan kita jengkel, kamera menyorot nasi goreng dan Gondangdia tetapi apa maknanya?" beber Rocky Gerung.

Rocky Gerung menilai, pertemuan antar tokoh politik beberapa waktu belakangan lebih membahas mengenai reshuffle kabinet namun diseludupkan seolah-olah masalah bangsa di 2024.

"Padahal 2024 itu masih jauh dan perdebatan ini selesai ketika minggu depan ada krisis ekonomi," ungkap Rocky Gerung.

Lebih lanjut Rocky Gerung menuturkan, kelompok 212 itu bak nutrisi dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

"Ini kekacauan kita seolah-olah Pancasila hanya dimonopoli dengan satu tipe politik yaitu Teuku Umar. Kenapa Ketua BPIP harus Megawati Soekarnoputri? Karena dia anaknya Soekarno, justru karena beliau anak Soekarno ya sudah selesai. Kalau mau majemuk, kenapa bukan Mardani Ali?

Jadi mengangkat Ketua BPIP itu mengartikan Presiden tak mengerti kemajemukan," imbuh Rocky Gerung.

Rocky Gerung mengemukakan, Presiden saat ini bukanlah otonom sehingga tak mungkin eksekusi kebijakannya sendiri.

Pengamat politik itu juga menjelaskan makna di balik pertemuan di Gondangdia dan Teuku Umar yang berarti material dan tak bisa disembunyikan.

"Kita diharuskan menganalisa sesuatu yang sebenarnya telah terang benderang bahwa hal tersebut mengartikan ambisi kursi dengan segala macam pengandaian. Kenapa? karena Oktober masih lama, kongres Golkar dan Gerindra masih lama.

Jadi untuk mendahului agenda formal maka diadakan pertemuan semacam tersebut," aku Rocky Gerung.