BERITA TERKINI - Politikus senior Partai Golkar Syamsul Rizal mengatakan, kepemimpinan Airlangga Hartarto dalam menakodai Partai Golkar paling terburuk.
Mengingat sejarah, setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto.
"Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden BJ. Habibie perolehan suara Partai Golkar dibawah kepemimpinan Ir. Akbar Tandjung signifikan menjadi peringkat kedua setelah PDIP dalam posisi Partai Golkar mengalami sunami politik yang begitu dahsyat," kata Syamsul dalam pesan singkatnya, Sabtu (27/7/2019).
Kemudian, kata dia, pasca reformasi dari pemilu ke pemilu dalam setiap pergantian kepemimpinan, Partai Golkar bukan hanya sekedar menjadi partai posisi kedua tetapi peran Golkar dan kadernya sangat piawai dalam memainkan pion-pion politiknya terutama politik kebangsaan dalam menjaga eksistensi dan marwahnya.
Sebut saja, lanjut Syamsul, kepiawaian peran Golkar yang paling spekatkuler saat masa kepemimpinan Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie.
"Periode pak JK dan Pak ARB ini bisa dikatakan Golkar dalam peran politik nasional menjadi bahasan sexi disemua kalangan karena posisi Partai Golkar selain sebagai partai pendukung pemerintah, Partai Golkar juga fokal dalam melakukan kritik kepada pemerintah, Golkar berselancar dengan segala taktik strategi selayaknya seorang peselancar ulung yang mampuh menaklukan ombak dan angin," ucapnya.
Peralihan dari kepemimpinan ARB ke Setya Novanto, Partai Golkar kembali mengalami badai politik namun posisi Golkar tetap tegak dan eksis karena kepiawaian SN dalam mengambil posisi politik yang dibarengi dengan penguatan konsolidasi baik secara internal maupun external.
"Tak bisa kita pungkiri bahwa kepemimpinan Partai Golkar dibawah kepemimpinan Setya Novanto jualah yang pertama kali mendeklarasikan Presiden Jokowi periode pertama menjadi calon presiden periode kedua dari Partai Golkar. Artinya bahwa Setya Novanto berhasil menempatkan Partai Golkar pada poisioning yang kuat dan berhasil walaupun posisi Golkar berada dalam hantaman badai yang begitu kuat," ujar Syamsul.
Peralihan kepemimpinan Setya Novanto ke Airlangga Hartarto, lanjut dia, semua kader Golkar menaruh harapan besar bahwa kepemimpinan Airlangga dapat membawa Golkar akan lebih baik dari pemimpin- pemimpin sebelumnya.
Namun, harapan-harapan Golkar akan besar itu pupus ditengah jalan akibat lemahya kepemimpinan Airlangga dalam membawa Golkar menjadi partai besar, partai yang berwibawah yang disegani kawan maupun lawan.
"Kepimpinan Airlangga Hartarto bukan mengalami kemajuan tapi makin mundur yakni makin berkurangnya kursi dan suara partai baik di tingkat DPR RI maupun DPRD bahkan daerah-daerah yang merupakan daerah lumbung suara Partai Golkar rata- rata suara dan kursi partai berkurang," tegasnya lagi.
Terakhir, dirinya menegaskan juga bahwa langkah politik yang diperankan Airlangga dan beberapa koleganya ini hanya memanfaatkan partai untuk kepentingan personal dan kelompoknya bukan kepentingan partai secara kolektif.
"Untuk imbauan saya kepada kader idiologis Partai Golkar untuk bangkit dan segera menyudahi permainan politik busuk ini sebelum Partai Golkar akan menjadi sandraan politik baru yang kelak merusak marwah partai," tutupnya.[tsc]