Pakar: Memindahkan Ibukota Sama Dengan Mencabut Filosofi Fundamental Bangsa

Pakar: Memindahkan Ibukota Sama Dengan Mencabut Filosofi Fundamental Bangsa
BERITA TERKINI - Pemindahan ibukota negara bukanlah kebijakan hukum terbuka yang secara teknokratik bisa dilakukan karena keputusan politik presiden. Ada hal-hal filosopis konstitusional yang harus dipahami terlebih dahulu tentang ibukota dalam perspektif perjalanan konstitusi bangsa.

Demikian disapaikan pakar hukum tata negara yang juga pendiri Sidin Constitution, Irmanputra Sidin dalam rekaman video "Munajat Konstitusi 10: Pemindahan Ibukota, Mengingkari Konstitusi?" yang didisebar di media sosial, Sabtu (24/8).

Irman menjelaskan, ibukota menurut UUD 1945 adalah tempat dimana seluruh rakyat Indonesia berkumpul untuk kemudian mengambil putusan-putusan yang paling penting terhadap republik ini, dalam sebuah kelembagaan, wakil-wakilnya yang telah dipilih melalui pemilu untuk tempat berkumpulnya mengambil keputusan tertinggi akan masa depan bangsa.


"Makanya dalam Pasal 2 UUD 1945 menyatakan bahwa majelis permusyawaratan rakyat bersidang itu diibukota negara," ucapnya.

Itulah makna ibukota. Bukan hanya sampai di situ, bahwa ternyata ibukota adalah tempat dimana seluruh rakyat Indonesia memberikan mandat kepada institusi negara untuk nantinya mengawasi segala penggunaan-penggunaan uang rakyat oleh institusi-institusi negara. Makanya kemudian disebut dalam UUD bahwa Badan Pemeriksa Keuangan tersebut berkududukan di ibukota negara. Hal yang penting secara teknis dipahami tentang ibukota.

Pertanyaan berikutnya adalah, apa sebenarnya ibukota dalam persepektif perjalanan konstitusi? Irman mengatakan, memang UUD tidak menyebut secara teknis hal tersebut, tapi kalau merunut sejarah panjang kehidupan konstitusi, maka dapat ditemukan kriteria dan definisi kenapa Jakarta dijadikan ibukota diantara puluhan, ratusan bahkan ribuan kota yang ada di Indonesia.

"Tentunya ada sesuatu yang harusnya kita pahami mengapa kemudian Jakarta ditunjuk sebagai ibukota. Apa definisinya? apa yang melatar belakangi kemudian Jakarta kita jadikan kota yang menjadi ibu," sebutnya.

Jakarta adalah ibu dari seluruh negara ini, ibu dari seluruh wilayah republik ini, ibu dari seluruh kampung, desa, kecamatan yang ada di Indonesia. Kenapa, karena Jakarta adalah ibu yang mengandung bahkan melahirkan negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Jakarta adalah tempat dimana ibu menjahit Bendera Merah putih. Jakarta adalah tempat dimana proklamator kita memproklamasikan kemerdekaan kepada seluruh penjuru dunia. Jakarta adalah ibu yang memfasilitasi lahirnya Pancasila, ideologi negara yang sangat kita banggakan, ideologi yang kita ingin sebar ke seluruh penjuru dunia, kata Bung Karno. Jakarta tempat kita menulis menguntai kata-kata, selaksa kata-kata menjadi untaian-untaian kata untuk mengontrol kekuasaan tersebut dalam bentuk UUD 1945," tutur Irman.

"Inilah Jakarta yang kemudian kita lekatkan sebagai ibu dari seluruh kota dari seluruh wilayah, dari seluruh penjuru, kampung, wilayah yang ada di Indonesia, inilah perjalanan panjang," tambahnya.

Oleh karenanya, lanjut Irman, pernyataan inilah yang kemudian membuat ketika pada tahun 1960-an republik ini pernah gamang tentang Jakarta sebagai ibukota, tapi kemudian Bung Karno saat itu mengeluarkan UU yang menyatakan bahwa Jakarta adalah ibukota negara, karena Jakarta adalah kota yang melahirkan proklamasi, kota tempat pusat aktivitas revolusi, kota tempat kita menyebar ideologi Pancasila ke seluruh dunia.

Dan sampai sekarang, filosofi fundamental ini tidak pernah dicabut. Bahwa UUD DKI Jakarta mengalami perubahan, itu adalah masalah teknokratik, guna pembangunan Jakarta sebagai ibukota, bukan mencabut filisofis ibukota, bukan mencabut dasar filosopis, apa itu ibu dari kota, apa itu ibu dari wilayah, apa itu dari kampung, desa seluruh wilayah yang ada di indonesia, itulah Jakarta.

"Dan sampai saat ini ketentuan itu tidak pernah dirubah," terang Irman.

Ditambahkan Irman, kebijakan pemindahan ibukota memang tidak semudah dengan kebijakan pemerintahan lainnya, yang mungkin secara teknokratis bisa saja dilakukan, cukup dengan ketemu ketua umum partai politik kemudian mendapat dukungan dari parlemen, maka urusan perubahan UU belakangan saja, tidak seperti itu. Karena ada nilai-nilai fundamental ada nilai historis Jakarta sebagai ibukota yang memang sangat sulit untuk dilekatkan.

"Karena apa? Bisa dimaknakan jikalau kita ingin memindahkan ibukota dari Jakarta, itu sama saja ingin mencabut dasar fundamentalis bahwa Jakarta adalah bukan lagi ibu di tempat melahirkan proklamasi, bukan ibu yang menjahit Merah Putih, bukan ibu tempat memfasilitasi para pendiri bangsa menghadirkan Pancasila, menghadirkan konstitusi yang kita nikmati sekarang," imbuhnya.

Masih kata Irman, inilah hal yang perlu dipahami tentang pemindahan ibukota. Pembukaan UUD 1945 secara teknokratik dan hukum tata negara bisa saja dilakukan perubahan, tetapi nilai-nilai fundamental, bukan hanya tidak berani, tapi tidak mampu dan tidak punya daya mengubahnya berdasarkan hati, meski seluruh kekuatan partai politik di MPR sepakat lakukan perubahan.

Nilai tentang pembukaan filosofis fundamental itu sesungguhnya sama dengan ketika kita melekatkan Jakarta sebagai ibu kota negara. Bahwa kemudian sebagai pusat pemerintahan, sebagai pusat negara, ketika kemudian aktivitas perekonomian ingin semua mendekat kepada kekuasaan, sehingga Jakarta sebagai kota dikelilingi, terkepung oleh aktivitas perekonomian, bahkan kapitalisme, maka tidak berarti negara untuk kekuasaan harus menyingkir atau mengungsi ke daerah lain.

Kemudian mencabut status Jakarta sebagai ibu yang menjahit Merah Putih, menjahit proklamasi, menjahit UUD 1945 dan menyebarkan Pancasila di seluruh dunia, seperti apa yang dicita-citakan sang proklamator Bung Karno," demikian Irmanputra Sidin menagaskan. (Rmol)