Negeri Serba Relawan

KELENGKAPAN Alat Pelindung Diri (APD) dan masker melanda Indonesia karena merebaknya virus corona (Covid-19).

Hingga 23 Maret 2020, pemerintah diketahui telah mengirimkan 165 ribu APD ke berbagai rumah sakit di seluruh Indonesia. Padahal, perhitungannya menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan sekitar 3 juta APD hingga akhir Mei 2020.

Karena kelangkaan APD, para dokter dan tenaga medis terpaksa menggunakan jas hujan ketika menangani pasien Covid-19. Ada juga rumah sakit (RS) yang mencuci ulang APD, padahal seharusnya sekali pakai. Akibatnya, Indonesia menjadi negara dengan kematian tenaga medis tertinggi di dunia.

Sebagai solusi, beberapa RS pemerintah maupun swasta membuka donasi bagi masyarakat yang mau menyumbang APD. Para relawan pun bergerak, dana dikumpulkan untuk membuat APD dengan standard Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ada pula yang membeli APD impor, meski lebih mahal.

Para relawan ini berjibaku tak hanya urusan APD. Karena banyak kalangan bawah yang terdampak secara ekonomi karena wabah corona, relawan menggalang donasi untuk diberikan berupa sembako dan makanan bagi warga yang tidak mampu beserta keluarganya.

Pembagian masker dan hand sanitizer juga dilakukan pada masyarakat. Sekaligus edukasi agar masyarakat paham pencegahan corona.

Negara Abai

Apa yang dilakukan para relawan merupakan hal yang positif. Ini akan menjadi amal salih mereka karena membantu sesama insan. Namun, sayangnya hal ini tak diimbangi dengan kebijakan yang tepat dan cepat oleh pemerintah.

Sejak awal, pemerintah lamban merespons corona dan bahkan terkesan meremehkan. Ketika jumlah korban terus meningkat, Indonesia tetap menolak lockdown. Padahal rumah sakit rujukan sudah kewalahan merawat pasien korona. Jumlah kasus terus meningkat hingga tembus angka 1.600 lebih.

Para tenaga kesehatan sudah meminta dilakukan karantina wilayah, namun pemerintah bergeming. Menurut para ahli, saat ini masih awal penularan virus korona, belum puncaknya. Jika tak ada karantina wilayah, korban akan makin banyak.

Inggris, Italia dan Amerika menjadi contoh telatnya pemberlakuan lockdown sehingga jumlah penderita amat besar. Di Inggris, korona telah menginfeksi Pangeran Charles dan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson.

Di Italia, jumlah kasus telah melebihi China. Jumlah kematian akibat covud-19 di Italia menjadi yang tertinggi di dunia. Amerika Serikat bahkan menjadi negara yang paling banyak kasus corona.

Seharusnya hal ini menjadi pelajaran bagi Indonesia, agar segera melakukan lockdown agar penularan Covid-19 bisa ditekan. Untuk mengatasi wabah ini butuh perhatian ekstra serius dari pemerintah.

Anggaran negara juga harus difokuskan pada penanganan Covid-19. Sayang, kebijakan pemerintah justru sering kontraproduktif, baik dari sisi kesehatan, ekonomi maupun gaya komunikasi. Akhirnya di beberapa daerah, rakyat terpaksa melakukan karantina wilayah mandiri karena permintaan lockdown tak digubris pemerintah pusat.

Semua ini menunjukkan bahwa negara tidak hadir mengurusi rakyatnya yang sedang sekarat akibat corona. Negara justru minta rakyat berdonasi untuk corona. Padahal tanpa disuruh, rakyat sudah banyak melakukan aksi sosial. Pemda juga diminta urunan untuk BPJS-Kesehatan terkait korona. Dana desa pun disunat untuk corona. Negara seolah tak punya uang untuk mengatasi wabah ini.

Mirisnya, ada uang untuk pembangunan ibukota baru. Juga ada uang untuk pembangunan infrastruktur PON di Papua. Padahal seharusnya urusan nyawa lebih diutamakan.

Sudahlah tak bertindak cepat dan tepat, gaya komunikasi pemerintah justru menyakiti hati rakyat. Jurubicara Pemerintah untuk Coroba, Achmad Yurianto menyebut orang miskin menularkan penyakitnya pada orang kaya. Stafsus milenial mengatakan, "Ayo bertanya pada diri sendiri, 'apa yang bisa saya lakukan untuk negeri?' Menyalakan lilin lebih baik daripada menyalahkan kegelapan".

Pernyataan seperti ini tak menyelesaikan masalah, justru memperkeruh suasana.

Seharusnya pemerintah bertanggungjawab penuh atas penyelesaian wabah. Negara menjalankan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Relawan boleh ada tapi tidak menggeser tugas negara. Komando penanganan wabah harus tetap ada di tangan pemimpin.

Wilayah wabah ditutup dari akses luar, sehingga rakyat yang sehat tidak tertular penyakit. Kebutuhan rakyat dicukupi, baik pangan maupun obat-obatan. Lisan pemimpin selalu mengajak pada kebaikan dan taqwa sehingga rakyat menjadi optimis. Wabah pun cepat terselesaikan.

Bagaimana dengan negeri ini? Rakyat sudah "menyalakan banyak lilin" untuk membantu melawan corona. Tinggal pemerintah yang harus bekerja keras mencukupi kebutuhan rakyatnya. Bukan justru mengejar proyek infrastruktur yang belum perlu. Semoga wabah ini lekas selesai.

Ragil Rahayu, SE
Anggota Komunitas Revowriter.