Bisakah Berdamai dengan Corona?

Rindyanti Septiana, S.Hi

Oleh: Rindyanti Septiana S.Hi
(Kontributor Muslimah News & Pemerhati Sospol)

Ajakan berdamai dengan Covid-19 yang disampaikan oleh Presiden Jokowi membuat keriuhan di tengah masyarakat. Pasalnya, pernyataan tersebut tersirat agar rakyat menerima saja dengan kondisi saat wabah belum bisa juga tertangani dengan baik.

Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Cabang Bekasi, Dokter Eko S.Nugroho menilai pesan berdamai dengan Covid-19 yang disampaikan Jokowi tetap harus diiringi usaha. Pernyataan tersebut juga dapat diterminologi sebagai dancing with Covid-19. Ia juga menambahkan bahwa, saat ini Indonesia tidak bisa berdamai dengan Corona mengingat tenaga medis yang menjadi korban dan terinveksi semakin banyak.(kedaipena.com,11/5/2020)

Apalagi tenaga medis ada di bagian hilir dalam pelayanan kesehatan. Sementara saat ini hanya pasien yang terkonfirmasi positif yang dirawat di rumah sakit, maka resiko untuk terpapar tinggi sekali. Keterbatasan sarana dan prasarana juga menjadi faktor penyebaran virus meningkat. Karena tidak semua rumah sakit memiliki sarana dan prasana yang lengkap untuk menangani Covid-19.

Lantas, bagaimana mungkin bisa mengajak masyarakat berdamai dengan Covid-19 sebelum ditemukan vaksin?

Jika melontarkan ajakan berdamai dengan virus demi berjalannya roda perekonomian, tampaknya alasan tersebut justru sulit diterima akal sehat. Hal itu seolah menegaskan pada rakyat, mengutamakan perekonomian negeri daripada kesehatan rakyatnya sendiri. Ironis

Publik pun dibuat bingung dengan pernyataan-pernyataan Jokowi terkait menyikapi virus. Jika sebelumnya Jokowi secara terbuka mendorong agar pemimpin negara-negara dalam G20 menguatkan kerjasama dalam melawan Covid-19, bahasa Jokowi saat itu, ‘peperangan’ melawan Covid -19.

Wajar, jika akhirnya publik menilai bahwa pemerintahan Jokowi terkesan tak seirama, bermain-main kata guna menenangkan rakyat. Namun yang terjadi rakyat makin bingung, wabah juga tak kunjung tertangani dengan serius.

Menurut Trubus Rahadiansyah, Analis Kebijakan Publik, tampak inkonsistensi dalam setiap kebijakan yang dibuat pemerintahan Jokowi yang mengakibatkan ketidakpercayaan publik terhadap setiap keputusan yang diambil pemerintah.

Belum usai melemparkan diksi perang-damai terhadap Covid-19. Kini, Jokowi meminta masyarakat tak putus asa dalam menghadapi virus Corona. Menjadi tanya bagi publik, apakah pemerintah benar-benar serius tangani virus? Apakah dengan permainan kata yang belakangan ini dilontarkan pihak istana justru memberikan sinyal bahwa pemerintah berlepas tangan dari penanganan wabah?

Kondisi semakin ruwet dengan berbagai kebijakan dan pernyataan kontroversial yang disampaikan pemerintah. Beginikah wajah pemimpin dalam demokrasi?

Lalu bagaimana Islam menangani wabah tanpa harus membingungkan rakyatnya?

Sikap Penguasa dalam Islam Tangani Wabah

Para penguasa dalam Islam  mengingatkan rakyatnya agar segera bertaubat jika bencana yang terjadi atas kemaksiatan yang dilakukan. Seperi halnya Khalifah Umar bin Abdul Aziz tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya.

Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, “Amma ba’du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hambanya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya.”

Bencana yang menimpa manusia merupakan qadha’ dari Allah Swt. Namun , dibalik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk ikhtiar untuk menghindarinya sebelum bencana terjadi.

Dalam suatu kejadian bencana ada domain yang berada dalam kuasa manusia dan yang berada di luar kuasa manusia. Segala upaya yang dapat meminimalisir bahkan dapat menghindarkan dari bahaya dan resiko bencana tidak dapat dicegah ataupun dihilangkan. Namun segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa yang menimbulkan bencana dengan manusia, inilah yang termasuk ke dalam upaya manajemen bencana.

Namun, apakah para penguasa muslim saat ini melakukan apa yang dilakukan penguasa dalam negara Islam (Khilafah)? Mengingat diri atas kemaksiatan yang dilakukan dan segera bertaubat. Justru yang kita temukan, penguasa yang abai, minim solusi serta tak segera mengambil sikap untuk melindungi nyawa rakyatnya. Ditambah lagi, terus berulang kali lontarkan pernyataan-pernyataan yang menambah bingung rakyat.

Begitu menyakitkan hidup dalam pengurusan penguasa sistem kapitalis. Jika tidak mati secara perlahan karena segala kebijakan liberalnya, mati secara langsung karena salah dalam mengambil keputusan. Sebagai contoh menaikkan iuran BPJS di tengah pandemi, memuluskan UU Minerba untuk kepentingan asing dan mensahkan Perpu Covid-19 guna mengamankan kerja pemerintah mengatur keuangannya tanpa pengawasan DPR dan BPK.

Padahal kepala negara ialah seorang pelayan rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan. Jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya kekuasaan yang ada di tangannya akan menjadi sebab penyesalan dirinya di hari akhir kelak.

Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah Saw:

“Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi dari Abu Maryam)