Usia 16 Tahun Ikut Bergerilya, Kini Jadi Relawan PMI

BERITA TERKINI - Slamet, kakek 90 tahun ini, pernah terlibat pertempuran di Jatingaleh, Semarang. Saat itu, ia menjadi relawan Tentara Pelajar. Setiap HUT Kemerdekaan RI, ia selalu teringat dengan kenangan saat perang melawan tentara Belanda tersebut.

NUR WAHIDI, Radar Semarang
Di usianya yang sudah 90 tahun, ingatannya masih tajam saat menceritakan kisahnya yang ikut bertempur dalam Agresi Militer Belanda pada 1946. Saat terjadi Agresi Militer I itu, usia Slamet masih 16 tahun. Warga Jalan Mahesa Utara II, Pedurungan, Semarang ini tergerak menjadi relawan Tentara Pelajar (TP) untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat dalam pertempuran di Jatingaleh.

“Saat itu, saya masih berusia 16 tahun. Saya tergerak membela negara dengan mendaftar menjadi Tentara Pelajar yang diinisiasi oleh TNI AD. Rata-rata anggotanya pelajar dan mahasiswa,” ceritanya saat ditemui Jawa Pos Radar Semarang di rumahnya, Jumat (14/8).

Setelah terdaftar sebagai Tentara Pelajar, Slamet masuk Korps TP Barikade 17 di Detasemen III Jogjakarta. Kemudian, ia memutuskan pulang ke rumah orangtuanya di Purworejo. Namun tiba-tiba mendapatkan mandat dari komandan wilayah Letkol Soeharto untuk ikut berperang di Jogjakarta hingga Gunung Kidul. “Saat Serangan Umum 1 Maret 1949, saya berperang di beberapa titik. Saya berjalan kaki dari Parakan (Temanggung) sampai Jogjakarta,” kenangnya.
Kakek kelahiran 1 April 1930 ini adalah mantan anggota Tentara Pelajar Detasemen III yang masih hidup. Ia bergabung dengan 1.200 prajurit TP lainnya untuk ikut bertempur melawan tentara Kolonial Belanda. Komandannya Kapten Martono. “Saya ikut gerilya sampai Semarang lawan Belanda. Sampai pasukan berhasil mengusir Belanda mundur,” katanya.
Teman-temannya yang berasal dari pelajar berusia 16 tahun kemudian diperbantukan melawan tentara kolonial. Usai perang kemerdekaan, pada 1951 Tentara Pelajar resmi dibubarkan. Masing-masing anggota mendapat penghargaan dari pemerintah dan beasiswa untuk melanjutkan studi yang selama ikut berperang terbangkalai. “Kegiatan saya di TP baru selesai tahun 1950. Setelah itu, saya sekolah lagi. Terakhir saya masuk ke sekolah kehutanan, lulus di Bogor tahun 1952,” akunya.

Slamet kemudian memilih bekerja di ladang perkebunan milik pemerintah Indonesia. Setelah 24 tahun bekerja, pada 1986 ia pensiun, dan memutuskan menjadi relawan Palang Merah Indonesia (PMI). “Karena darah sangat dibutuhkan masyarakat, makanya memilih jadi sukarelawan PMI dan mengajak warga Pedurungan untuk berdonor darah. Saya jadi relawan PMI sudah 32 tahun, sudah mampu mengumpulkan 4.500 kantong darah untuk diserahkan ke PMI,” akunya.

Atas jasanya sebagai anggota Tentara Pelajar dalam berjuang melawan Belanda, ia mendapatkan penghargaan sebagai pahlawan gerilya dengan pangkat terakhirnya Prajurit Satu (Pratu). “Merasa bangga bisa berbuat sesuatu untuk nusa dan bangsa. Termasuk saat rutin menggalang donor darah,” paparnya.

Di era milenial ini, dirinya berpesan kepada generasi muda agar tekun belajar mesti sedang pandemi Covid-19. Dengan rajin belajar, bisa menumbuhkembangkan minat bakat dan kecintaan pelajar dalam mengisi kemerdekaan dengan Ide-ide yang kreatif dengan semangat nasional.

Ketua Legiun Veteran Kota Semarang Herman Josep Soedjani mengaku, saat ini tengah meneruskan semangat perjuangan kepada generasi penerus bangsa di tengah pandemi Covid-19. Sebab, dampak Covid-19 tidak hanya pada faktor kesehatan, tapi juga keutuhan gotong royong ekonomi. Generasi muda, lanjut dia, nantinya bisa menciptakan ide dan lapangan kerja yang dapat dilakukan secara mandiri.

“Modalnya dengan semangat dan moral yang kuat. Gotong royong, cinta tanah air, dan rela berkorban ini bagian dari nilai perjuangan. Semua harus diwarisi kepada anak muda. Seperti beternak, bertani, sehingga membuat banyak orang muda menjadi kreatif. Kita jangan sampai larut pada masalah pandemi ini. Tapi, tetap semangat tinggi, tetap kreatif, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan,” pesannya.

Di Kota Semarang sendiri, kata dia, terdapat 282 legiun veteran yang masih hidup. Meski begitu, mereka rata-rata hidup dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Dikatakan, saat ini ada seorang legiun yang tinggal di rumah sendiri, dan membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah.

“Sebagian besar rumahnya ada yang direhab. Ada juga legiun veteran yang ikut anaknya. Ada yang ngontrak rumah. Beberapa masih ada yang menumpang di rumah saudara. Dari 282 orang, usianya sudah sepuh, 70 sampai 90 tahun,” katanya.

Dikatakan, setiap tahunnya pemerintah pusat mengucurkan uang tunjangan bagi para veteran pejuang kemerdekaan sebesar 50-100 persen dari nominal Rp 1,8 juta sampai Rp 2,6 juta per orang. “Jumlahnya nominalnya bervariatif untuk tiap-tiap orang,” jelasnya.

sumber: jawapos