BERITA TERKINI - Sekitar 20.000 tahun yang lalu, lapisan es menutupi beberapa bagian planet Bumi. Periode inilah yang kemudian disebut sebagai Zaman Es Terakhir atau juga dikenal sebagai Glasial Maksimum Terakhir (LGM).
Namun ada satu pertanyaan yang belum terpecahkan oleh peneliti yakni seberapa dingin Bumi ketika periode Zaman Es itu berlangsung?
Kini, berkat sebuah studi yang diterbitkan di jurnal Nature, pertanyaan itu berhasil terurai.
Seperti dikutip dari Smithsonian, Senin (31/8/2020) peneliti menggunakan pemodelan untuk memproyeksikan suhu global rata-rata selama Zaman Es tersebut.
Berdasarkan pemodelan, peneliti menemukan suhu global rata-rata sekitar 19.000 hingga 23.000 tahun yang lalu sekitar 6 derajat Celcius, lebih dingin dibandingkan suhu global pada abad ke-20.
Suhu global rata-rata abad ke-20 sendiri adalah 14 derajat Celcius.
"Hal itu mungkin tak terlihat seperti perbedaan besar, tetapi pada kenyataanya ini adalah perubahan besar," ungkap Jessica Tierney, peneliti dari Universitas Arizona.
Menurut Tierney, pendinginan rata-rata global 6 derajat Celcius sangat besar dan membuat dunia terlihat jauh berbeda selama periode Zaman Es.
Studi ini dilakukan dengan menganalisis lemak yang diawetkan dari fosil plankton laut untuk memetakan kisaran suhu permukaan laut selama Zaman Es terakhir.
Selanjutnya, peneliti memasukkan data tersebut ke dalam pemodelan untuk memproyesikan suhu global.
Lebih lanjut, peneliti mencatat bahwa pendinginan selama Zaman Es terjadi secara tidak merata di seluruh planet.
Secara umum, daerah kutub di lintang yang lebih tinggi lebih dingin daripada daerah tropis.
Penelitian ini pun memiliki peran penting karena dapat membantu peneliti memahami sensitivitas iklim termasuk memprediksi perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
"Iklim masa lalu merupakan satu-satunya informasi yang kami miliki untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi ketika Bumi mendingin atau menghangat dalam derajat yang besar. Jadi dengan mempelajarinya, kita dapat memprediksi di masa depan," tambah Jessica Tierney, peneliti dari Universitas Arizona.
sumber: kompas