Uighur: Wajah Negeri Tanpa Senyum

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Traveler dan Penulis Buku
"Dari mana saja?" Suara saya tidak bisa menutupi kekesalan karena menunggu lebih dari 30 menit di depan pintu kamar hotel.

Ekspresi muka suami saya Lambang yang kebingungan membuat saya menyadari sesuatu pasti telah terjadi. "Aku pikir kamu diculik," jawabnya pelan yang seketika membuat saya bengong!

Tadi setelah sarapan, kita bertemu pemandu saya. Mr Kashimir, di lobby hotel. 
"We'll going up to take our luggage first," pamit saya.
Hari ini kita sekalian check-out, karena nanti sore harus mengejar penerbangan kembali ke Urumqi.

Sambil ngobrol, saya sibuk mengetik tulisan di handphone. Saya ikuti langkah Lambang tanpa memperhatikan situasi. Sampai di depan kamar, kunci tidak berfungsi. Berkali-kali di-tap, pintu tetap tidak bisa dibuka.

Lambang menduga Mr Kashimir sudah membereskan urusan check-out sehingga pintu kamar tidak bisa dibuka lagi.
"Kamu tunggu di sini saja, aku urus kunci ke bawah." Saya hanya mengangguk dan tetap sibuk menulis.

Sepuluh menit. Dua puluh menit. Tiga puluh menit. Sampai pegal kaki saya berdiri, Lambang belum muncul juga. Pasti ada yang tidak beres, batin saya.

Segera saya putuskan untuk menyusul ke bawah. Di depan lift saya terkejut, karena di angka 20 pintu lift terbuka. Padahal kamar kita di lantai 22. Mengertilah saya kenapa kunci tidak berfungsi. Karena salah lantai. Saya tidak memperhatikan karena sibuk menulis dari tadi.

Rupanya Lambang kembali ke lantai 22 dan tidak menemukan saya. Tiga kali ke atas-ke bawah, tidak bertemu juga. Segera dia melapor ke Mr Kashimir kalau saya "hilang".
Mr Kashimir tak kalah panik. Ia segera melapor ke manajer hotel yang kemudian memeriksa CCTV. Saya tidak terlihat di lantai 22 sejak tadi.

Saya diculik! Itu yang ada di pikiran Lambang.

Sejak sebelum berangkat ke Uighur, bermacam isu keamanan memborbardir perasaan kami. Sebagai jurnalis, saya dilatih untuk menghadapi perang psikologis semacam ini. Sehingga tidak terlalu terganggu. Namun tidak dengan Lambang. Ia "parno" dengan berita tentang penculikan.

"Hasbunallah wanikmal wakil nikmal maula wanikman nasir. Aku akan share semua tulisan setelah sampai Jakarta. Kita pastikan bisa balik ke Jakarta dulu. InsyaAllah aman," kata batin saya sebelum berangkat.

Suasana "mencekam" sepertinya sengaja dihembus-hembuskan. Sehingga semua orang ketakutan. Beberapa hari melakukan perjalanan dengan Mr Kashimir, sebenarnya saya "prihatin" dengan ketangguhan mentalnya. Ia terlihat selalu gelisah. Irit bicara. Mengalihkan perhatian bila saya sudah menyinggung hal sensitif.

Dan yang paling parah, ia ketakutan menerima telepon dari nomer internasional. Sementara, profesinya adalah local guide yang mengharuskannya berhubungan dengan orang asing.

Sebenarnya, saya ingin sekali menggali kisah lebih dalam dari Muslim Uighur. Tidak sekadar apa yang saya saksikan di sana. Berkali-kali saya pancing, ia selalu berkelit dan menutup diri.

Melihat dirinya, saya jadi membandingkan dengan Jamal, local guide yang menemani saya dan Lambang saat ke Palestine tahun 2012 lalu. Situasi keduanya mirip. Sama-sama tumbuh di negeri terjajah. Namun, Jamal bisa menunjukkan "ketangguhannya" sebagai orang Palestine.

Saya coba merenung, pastilah Mr Kashimir punya alasan mengapa membiarkan dirinya terperangkap dalam ketakutan berkepanjangan yang sengaja diciptakan itu.

Sejak pertama menginjakkan kaki di Uighur ini, saya seperti mendarat di negeri tanpa senyum. Sulit sekali menemukan orang yang tersenyum, apalagi tertawa bahagia. Kalaupun ada yang tersenyum, selalu bergurat duka.

Sejatinya, Kashgar adalah kota yang sangat indah. Sebagai gerbang Jalur Sutra dari Persia dan Asia Tengah, ia menawarkan pesona yang luar biasa.

Kemarin sore saat berkeliling kota tua, saya seperti terlempar ke Persia dengan segala kemolekannya. Rumah-rumah tua berbata merah, labirin sempit, lengkung iwan khas arsitektur Islam, lentera yang tergantung di ujung-ujung gang, gerbang kayu dengan gerendel khas. Ah!

Seakan Putri Jasmine dan Ali Baba sedang bermain dengan karpet terbangnya di sana.
Saya dan Lambang sempat mampir dan menyesap teh di sebuah kedai teh berumur seratus tahun. Melihat muslim Uighur berkumpul dan saling berbagi cerita.

Tak lama seorang mengambil oud dan rebana. Musik mulai ditabuh. Irama serupa irama padang pasir terdengar memenuhi ruangan. Meski suasana riang, namun terasa hampa, karena tak ada yang tersenyum di sana.

Sebagai penikmat sejarah Islam, saya terlena. Eksotisme dan jejak sejarah kota kuno ini sungguh luar biasa. Hanya, kini ada percikan luka. Entah berapa lama dan siapa yang bisa menyembuhkannya.

Di Sunday Market, pasar tradisional yang masih eksis sejak zaman Jalur Sutra, saya melihat aneka ternak diperdagangkan: kuda, unta, yak, keledai, sapi, kambing. Yang tidak ada hanya babi! Persis seperti ribuan tahun silam. Ini adalah bukti. Ini negeri Muslim.

Sore ini kita harus kembali ke Urumqi. Di Kashi Airport boarding pass Lambang bermasalah. Nama tengahnya tidak tercetak, sehingga berbeda dengan tiket dan passport.

Nahasnya, di bandara ini tidak ada orang yang bisa menjelaskan dalam bahasa Inggris. Sehingga kita tidak mengerti apa yang terjadi. Padahal waktu boarding semakin mepet.

"Anyone can speak English?" Saya sampai berteriak karena tidak ada yang bisa membantu. Mr Kashimir yang berulang ditelepon Lambang tidak mengangkat teleponnya. Alhamdulillah, akhirnya ada seorang penumpang dengan bahasa Inggris yang terbata-bata menjadi penerjemah.

Bahasa menjadi kendala, bisa dimengerti. Jangankan bicara dalam bahasa asing, ada peraturan yang melarang Muslim Uighur untuk berbicara dengan orang asing. Di titik ini saya mencoba memaklumi mengapa Mr Kashimir tidak mengangkat teleponnya.

Belum selesai. Meski dikejar waktu, lagi-lagi petugas di mesin pemindai meminta saya melepas kerudung. "Allahu rabbi," desis saya sambil menunjukkan boarding pass yang waktunya tinggal 10 menit lagi. Melihat muka saya yang mungkin sudah tidak karuan, petugas itu akhirnya meloloskan.

Sambil berlari, saya tenteng sepatu boots yang tak sempat dipakai lagi. Untungnya bandara ini tidak terlalu luas. Tepat di depan boarding gate, terdengar pengumuman melalui pengeras suara kalau pesawat yang akan membawa kita kembali ke Urumqi segera boarding.

Di kursi pesawat, sambil mengatur napas yang masih terengah-engah, saya pejamkan mata mengulang memori di kota ini.

Takdir sejarah membuat wilayah yang secara geografis lebih dekat ke Damaskus ketimbang ke Beijing ini harus menjadi bagian dari negara China. Padahal secara tradisi dan budaya semua berbeda. Secara ideologi dan religi.... ah, apalagi!

Catatan sejarah membuktikan, negeri-negeri yang pernah menjadi bagian dari Daulah Islam terjamin keamanan penduduknya, sekalipun berbeda agama.

Piagam Madinah adalah awal sekaligus bukti. Bagaimana sebuah pranata masyarakat madani seharusnya dibangun. Menjamin keadilan untuk semua warganya. Enam abad sebelum Magna Charta yang dianggap kitab suci dibuat manusia.

Kashgar, 6 Januari 2019, Republika Online