Penghina Pemimpin Terancam Hukuman Penjara, Sudjiwo Tedjo Keberatan

BERITA TERKINI - Budayawan Sudjiwo Tedjo mengungkapkan keresahannya mengenai langkah Polri yang akan menindak hukum para penghina pemimpin.

Menurut Tedjo, aturan menindak para penghina pemimpin tanpa delik aduan dari pihak yang merasa terhina ini justru berpotensi menimbulkan kebencian yang lebih mendalam.

"Yth, Pak Kapolri Jend Pol Idham Azis, jika betul Polri akan nindak para penghina pemimpin tanpa delik aduan yang merasa dihina, izinkan saya nguda rasa via [THREAD] ini bahwa salah langkah dikit saja, aturan ini malah kontra produktif berupa cibiran, tidak di mulut/medsos, tapi di hati," tulis Tedjo melalui Twitter-nya pada Senin (6/4/2020).

Dituliskan pula dalam utasannya bahwa beberapa ahli hukum telah memperingatkan mengenai risiko aturan ini.

"Jangankan para pemimpin bawahan, bahkan pucuk pemimpin yaitu presisden saja sudah bukan lagi simbol negara. Penghinaan terhadap mereka baru menjadi kasus hukum bila ada aduan dari mereka, persis seperti yang berlaku terhadap rakyat biasa," sambung Tedjo.

Seraya mengakui kekurangpahamannya mengenai hukum, Tedjo pun meminta izin kepada Kapolri untuk turut menyampaikan pendapatnya mengenai aturan ini.

Tedjo menjelaskan bahwa leluhur Nusantara pernah memberi wejangan tentang hinaan dan semacamnya sebaiknya ditempatkan di bokor kencana (emas) sedangkan pujian malah harus dibuang ke paidon (tempat meludah).

"Mungkin maksud leluhur agar manusia, terutama pemimpin selalu eling (ingat, dzikir) dan waspada. Bahkan para pemimpin yang udah baik pun, tetap perlu meletakkan hinaan padanya di bokor kencana, dan pujian padanya di tempat meludah, agar dia tetap daat mengontrol dirinya sendiri," Tedjo menjelaskan.

Tedjo pun setuju jika menghina bukan lah merupakan hal yang baik. Namun ia juga menyadari perbedaan karakter pada tiap-tiap orang.

"Mengritik monggo, asal jangan menghina. Tapi karakter orang di Nusantara dan dunia ini macem-macem, Pak. Ada yang baru merasa plong kalau sudah menghina. Dokter ahli bedah syaraf @ryuhasan mengiyakan tentang adanya karakter bawaan dari proses evolusi itu," tulis Tedjo seraya mencantumkan namaa dokter Ryu Hasan.

Atas polemik tindakan hukum atas penghinaan pemimpin ini, Sudjiwo Tedjo pun mengusulkan solusi dengan tidak memenjarakan para penghina, melainkan dengan pemberian imbauan oleh tokoh masyarakat.

"Gimana kalau soal tidak menghina ini kita jadikan bukan urusan polisi (kecuali kalau yang merasa terhina melapor), tapi urusan para agamawan, seniman, tetua adat dll. Biar mereka yang mengimbau umat atau fans-nya untuk tidak menghina. Sekardar dengan imbauan. Bukan dengan ancaman bui," usul Tedjo.

Menurut analisis Tedjo, para pemimpin justru akan terlihat menyedihkan jika tidak ada masyarakat yang berani menghinanya karena takut dipenjara.

"Dihina tak membuat terhina. Tak dihina karena takut dibui, itu yang justru membuat terhina," papar Tedjo.

Padahal, lanjut Tedjo, martabat polisi adalah tidak membuat pemimpin jadi menyedihkan, dan martabat korps Bhayangkara adalah tidak membuat pemimpin justru terhina secara hakikat.

"Ibarat rumah tangga, yang para suaminya atau para istrinya tidak saling menghina hanya karena gentar pada UU Pernikahan, itu menyedihkan, Pak. Lain dengan pasutri yang tidak saling menghina-dina karena memang C I N T A," tulis Tedjo mengumpamakan.

Seniman yang akrab disapa Mbah Tedjo ini menegaskan bahwa menghina berbeda dengan melakukan kejahatan lain.

"Mencuri atau membunuh itu merugikan. Menghina tidak merugikan. Bahkan, menurut para leluhur nusantara, justru malah mengagungkan yang dihina," jelas Tedjo.

Tedjo juga mengingatkan bahwa pempimpin yang terhormat tak perlu takut meraa terhina karena akan ada masyarakat yang bersimpati jika ada yang menghinanya.

"Khawatirnya, bila dituangkan dalam produk aturan, ada kemungkinan salah langkah yaitu aturan ini menjadi aturan karet. Yang sejatinya bukan penghinaan dipaksakan untuk menjadi penghinaan atas nama kepentingan. Semoga tidak," Tedjo berharap. (*)