Pesantren Ekologi : Menanam Masa Depan Generasi

Berita Terkini, MANDAH - Di tengah gemuruh perubahan iklim, abrasi yang menggigit pelan-pelan pinggir negeri, dan pohon-pohon mangrove yang rebah satu per satu tanpa suara, sebuah harapan baru tumbuh dari pesisir Riau. Namanya Pesantren Ekologi Al-Furqan, bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan titik tolak peradaban, tempat di mana iman dan alam saling menyapa dalam cinta yang utuh.

Hari itu, Sabtu, 26 Juli 2025, langit Desa Belaras Barat tak hanya menyambut mentari pagi, tetapi juga menampung ribuan harap yang mengendap dalam dada para pejuang lingkungan. Di sana, sejarah ditulis dengan penuh cinta. Pohon mangrove ditanam bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan doa dan harapan, demi bumi, demi generasi mendatang.

Dan dari tanah yang becek dan asin itu, lahirlah sesuatu yang lebih dari sekedar pesantren, namun sebuah gerakan jiwa, gerakan kesadaran.

Pesantren Ekologi bukan hanya sekolah, tapi laboratorium peradaban. Di sanalah Al-Qur’an tidak hanya dibaca, tetapi dihidupkan, dalam cara manusia menjaga bumi, merawat laut, menanam pohon, dan mengasihi makhluk hidup lain. Setiap ayat tidak berhenti di hafalan, tetapi mengalir ke tangan yang menanam, ke langkah yang melindungi pesisir, ke suara yang membela lingkungan.

Zainal Arifin Hussein, sang penggagas, menyebutnya sebagai rumah para generasi Qur’ani yang mencintai Tuhan dan ciptaan-Nya. Suaranya tegas, tapi matanya menyiratkan rasa haru, seolah ia tahu, bahwa perubahan besar memang harus dimulai dari tempat yang sunyi dan sederhana.

Dari pondok berlantaikan kesederhanaan dan rak-rak kitab yang bersahaja, anak-anak muda akan dibentuk bukan hanya sebagai santri yang saleh, tapi juga penjaga semesta. Mereka belajar bagaimana menakar hujan, membaca arah angin, dan menanam pohon dengan niat ibadah.

Di Kabupaten Indragiri Hilir, mangrove bukan hanya pohon, tetapi penyambung hidup. Mereka berdiri di garis depan melawan abrasi, menahan gelombang, sekaligus menjadi rumah bagi kepiting, udang, dan aneka biota laut yang menopang ekonomi rakyat.

Namun, dari hari ke hari, batang-batang mangrove itu hilang satu per satu. Ditebang, terkikis, lenyap. Dan bersama mereka, ikut menghilang pula ketenangan para petani, nelayan, dan anak-anak yang suatu saat mungkin tak lagi bisa bermain di tepi pantai yang aman. Maka ketika pesantren ini berdiri, harapan pun tumbuh kembali.

Peluncuran Si Rajalesa, Rajawali Pelestari Alam, mempertegas bahwa gerakan ini bukan tentang satu orang atau satu lembaga. Ini adalah gerakan kolektif. Rajalesa bukan maskot biasa, ia adalah simbol kesadaran, bahwa menjaga bumi adalah tugas setiap insan, bukan hanya pemerintah atau aktivis.

Pesantren Ekologi Al-Furqan adalah benih. Ia mungkin kecil hari ini, tapi ia akan tumbuh, menjulang ke langit, mengakar kuat di bumi, dan menjadi pelindung generasi masa depan. Di dalam dinding-dindingnya yang sederhana, doa dan kerja nyata saling bersentuhan.

Dan suatu hari nanti, saat anak-anak kita bertanya, "Apa yang kita lakukan ketika bumi mulai sekarat?"

Kita bisa menjawab dengan tenang, "Kami menanam. Kami mendidik. Kami mencintai. Kami tak tinggal diam."

Di Belaras Barat, suara azan dan suara ombak menyatu dalam satu simfoni, simfoni perlawanan terhadap kehancuran. Dari tanah itu, dari lumpur itu, tumbuh harapan. Dan dari pesantren itu, lahirlah masa depan.***