Gibran Jadi Cawalkot: Mengapa Ia Mengkhianati Kata-Katanya Sendiri?

BERITA TERKINI - Gibran Rakabuming Raka awalnya hanya seorang pebisnis. Hingga dua tahun lalu, ia menyatakan tidak mau masuk ke kancah politik. Kini pernyataan itu tak terbukti. Gibran memutuskan ikut dalam kontestasi Pilkada 2020 untuk meraih kursi Wali Kota Solo. Jika syarat utama menjadi politikus adalah ketidaksinkronan antara kata dan perbuatan, maka Gibran telah memenuhinya.

Setiap kali ditanya, putra sulung Presiden Joko Widodo ini maunya fokus pada bisnis. Politik dan pemerintahan adalah jalan hidup bapaknya, bukan untuk dirinya. Padahal anak-anak presiden Indonesia terjun dalam dunia politik. Semuanya, kecuali anak B.J. Habibie.

"Nggak, nggak tertarik (menjadi politikus)," kata Gibran saat ditemui dalam peresmian outlet Sang Pisang dan Markobar, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/8/2018) seperti dilansir Suara.


Meski berkali-kali ditanya, jawaban Gibran tetap sama: tidak berminat menjadi politikus. Setidaknya, sampai Juli 2019, jawaban Gibran konsisten. Sang ayah juga berpendapat serupa.

Jokowi menyampaikan anaknya tak ada yang mau berpolitik dalam waktu dekat. Entah memang tebakan Jokowi yang jitu atau malu-malu kucing, dia melanjutkan, “Tapi ya nggak tahu lagi, kalau tahu-tahu besok pagi bilang, ‘Pak saya kepingin jadi Wali Kota’ siapa tahu. Minggu depan bilang ‘Pak saya siap jadi Wali Kota.’”

Omongan Jokowi tidak keliru-keliru amat. Hanya berselang dua bulan, Gibran tiba-tiba berubah pikiran. Dia mendatangi Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo. Gibran saat itu menanyakan mekanisme menjadi anggota partai sekaligus bakal calon Wali Kota Solo.

Apa yang dilakukan Gibran mengacuhkan saran Rudyatmo sebelumnya. Untuk menjadi wali kota, Gibran harus punya pengalaman terlebih dahulu dalam politik, tidak hanya jadi pebisnis.

"Menjadi wali kota itu tidak mudah," kata Rudyatmo akhir Juli 2019 seperti dikutip Tempo.

Setelah bertemu Rudyatmo, lima hari berselang, tepatnya pada 23 September 2019, Gibran resmi mendaftar sebagai anggota PDIP. Pada saat bersamaan dia juga mengaku akan mengambil formulir pendaftaran bakal calon Wali Kota Solo.

DPC PDIP sebenarnya tidak mendukung Gibran. Dukungan mereka ditujukan untuk pasangan Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Ketika Rudyatmo membawa berkas pendaftaran ke DPP PDIP, nama Gibran tak ada di dalamnya.

Namun Gibran tidak menyerah. Meski pintu DPC tertutup, Gibran mengambil jalan memutar: mendaftarkan diri lewat Dewan Pengurus Daerah (DPD) PDIP Jawa Tengah. Lewat jalur DPD inilah Gibran bisa lolos dan maju sebagai calon Wali Kota Solo.

Jalan Mulus Gibran

sumber: riset tirto.id

Nama Gibran memang sangat anyar dalam perebutan kekuasaan di Solo. Dalam rangkaian pemilu legislatif dan pemilu presiden, Gibran tidak ikut kampanye sama sekali. Pertama kali namanya muncul berkaitan dengan politik adalah pada survei yang diadakan Laboratorium Kebijakan Publik Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo. Hasil survei menunjukkan Gibran punya popularitas tertinggi di antara tokoh lain seperti Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Namanya juga menduduki peringkat kedua dalam hal elektabilitas.

Tidak hanya DPC PDIP Solo yang tak setuju dengan Gibran. Puluhan atau mungkin ratusan massa yang mengaku pendukung Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa sempat mendatangi kantor DPC PDIP dan menolak Gibran untuk dipertimbangkan menjadi calon Wali Kota Solo pada Desember 2019.

Bagi mereka, Solo lebih baik dipimpin orang yang sudah berpengalaman daripada tidak sama sekali. Achmad Purnomo juga mendapat dukungan dari Rudyatmo yang nilainya tentu tidak kecil.

Rudyatmo sudah “menguasai” Solo setidaknya 15 tahun. Di era kepemimpinan Jokowi sebagai Wali Kota Solo dari 2005-2012, Rudyatmo mendampingi sebagai Wakil Wali Kota. Setelah Jokowi pergi ke Jakarta, kursi pimpinan itu jatuh kepada Rudyatmo selama tiga tahun. Pada periode itulah Rudy dibantu Achmad Purnomo sebagai wakilnya.

PDIP pun solid dan warga Solo bisa menerima jika Rudy kembali memimpin. Pada Pilkada 2015, Rudy terpilih sebagai wali kota dan turut menggandeng Achmad. Persentase yang memilihnya mencapai 60,39 persen. Tak heran DPC PDIP Solo ingin meneruskan tradisi ini dengan memboyong Achmad dan Teguh Prakosa. Di kemudian hari, besar kemungkinan kursi wali kota akan diteruskan oleh Teguh.

Namun, pada akhir Mei 2020, tiba-tiba Achmad mengundurkan diri dari bakal calon Wali Kota Solo di Pilkada 2020. Dia merasa tidak nyaman jika di tengah pandemi COVID-19 malah sibuk dengan kampanye kepala daerah. Otomatis, peluang Gibran menjadi lebih besar untuk terpilih dan kelak menjadi kenyataan.

DPC PDIP Solo sudah menolak keputusan Achmad yang sepihak. Namun tidak ada gunanya. Keputusan Achmad telah bulat. Rudyatmo akhirnya kecewa terhadap DPP PDIP yang tidak mempertahankan Achmad dan semudah itu mencalonkan Gibran yang minim pengalaman. Tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa.

"Pencalonan dari DPC sudah sesuai dengan PP Nomor 24 Tahun 2017 seolah-olah nggak ada harga dirinya. Artinya apa yang telah dirumuskan ini nggak ada nilainya di sana, karena yang diberi rekomendasi Mas Gibran dan Pak Teguh, bukan yang diusulkan DPC Pak Pur dan Pak Teguh," ungkap Rudyatmo seperti dilansir Liputan6.

Melihat peta politik di Jawa Tengah, PDIP memang sangat berkuasa. Setidaknya ada 18 kepala daerah yang mendapat dukungan dari partai berlambang kepala banteng tersebut sampai sekarang. Untuk anggota DPR, PDIP berhasil mengirimkan 26 anggotanya ke parlemen dari Jawa Tengah.

Solo juga salah satu daerah Jawa Tengah yang menjadi basis banteng. Terbukti, Puan Maharani, yang melenggang dengan suara terbanyak dari PDIP, meraup 404.304 suara di Dapil Jateng V meliputi Klaten, Sukoharjo, Boyolali, dan Kota Solo. Selain Puan, ada tiga politikus PDIP yang berhasil melenggang ke DPR dari dapil yang sama, membuat PDIP merebut jatah 4 kursi dari 8 kursi yang ada.

Turun ke tingkat DPRD Solo, dominasi PDIP lebih masif lagi. Dari 45 caleg yang berhasil lolos, 30 di antaranya berasal dari PDIP. Jika dibuat persentase, maka PDIP menguasai 67 persen kursi DPRD Kota Solo.

Kini, di Pilkada 2020, Gerindra, Golkar, PAN, dan PSI juga telah menyatakan dukungan kepada Gibran. Satu yang tersisa adalah PKS. Kendati ada calon kuat yang bisa berhadapan dengan Gibran, besarnya kekuatan PDIP di Solo sangat sulit terkalahkan. Sejak tahun 2000, selama hampir dua dekade, kepemimpinan Solo selalu dipegang PDIP.

Melihat besarnya kekuatan PDIP, saingan Gibran bukan paslon dari partai lain, tetapi justru dari internal partai seperti DPC PDIP Solo atau sosok seperti Achmad. Tapi kini Achmad sudah mundur. Selagi Gibran masih mendapat dukungan dari DPP PDIP yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, kemenangan dia sudah di depan mata.

Mempertahankan Tradisi Buruk


Kehadiran Gibran tak beda dengan politikus yang lahir dari rahim dinasti politik seperti Tommy Soeharto, Titiek Soeharto, Puan Maharani, Edhie Baskoro Yudhoyono, dan Agus Harimurti Yudhoyono. Semuanya maju ke politik setelah bapaknya lebih dahulu menjadi politikus cum presiden. AHY adalah yang paling serupa: ujug-ujug menjadi calon Gubernur DKI Jakarta setelah hijrah dari militer padahal minim pengalaman.

Gibran memang sedikit tahu diri. Ia merintis dari wali kota dan tidak langsung ke level gubernur. Hanya saja jalannya juga berbeda dengan Jokowi yang lebih dulu menjadi petugas partai baru ikut dalam kontestasi. Gibran langsung menjadi anggota sekaligus ikut perebutan kursi kepala daerah. Posisinya diuntungkan dan populer karena terkenal dengan sebutan “anak presiden.” Apalagi keputusan ini tak akan berpengaruh ke ayahnya yang sudah menjabat di periode kedua. Tak ada yang bisa mencegah “politik dinasti” ini muncul.

Selain itu, kemunculan Gibran menjadi pertanda bias kelas perwakilan masyarakat di kancah politik. Peneliti dari Universitas Leiden, Ward Barenschot, menyatakan keterwakilan masyarakat berdasar etnis dan agama di politik sudah cukup baik, tetapi tidak dalam hal strata sosial. Baik posisi di parlemen, gubernur, dan bupati, pelaku bisnis masih mendominasi.

"Kita semua tahu banyak contoh elite politik yang juga elite ekonomi di tingkat nasional: Sandiago Uno, Erick Thohir, Jusuf Kalla, Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh. Sekarang sangat mudah untuk pelaku bisnis masuk dunia politik. Di tingkat lokal, polanya hampir sama," ujar Berenschot seperti dikutip CNBC.

Dalam buku Democracy for Sale (2019) yang ditulis Edward Aspinall bersama Berenschot, data Pilkada serentak 2015 menunjukkan ada 695 kandidat kepala daerah dari 223 provinsi/kabupaten/kota. Sebanyak 25,2% adalah pebisnis sedangkan 26,8% adalah pegawai negeri sipil atau pensiunan PNS. Sedikit yang benar-benar mewakili masyarakat menengah ke bawah.

Tingkatan politik lokal tak jauh berbeda. Jikalau elite tidak mendominasi, maka yang akan muncul adalah mereka dari kelompok lain yang dekat dengan pebisnis dengan ekonomi mapan. Jarang sekali calon berasal dari guru atau petani. Kendati ikut, keterpilihan mereka cenderung rendah.

Selain biaya politik yang tak murah, praktik klientelisme di Indonesia juga bergeming. Masih dalam catatan Berenschot dan Aspinall, pada pemilu 2014 lalu, ada warga yang menukar suara warga dengan uang pembangunan. Mereka yang bisa memberi dana pembangunan jalan sebesar Rp50 juta mendapat dukungan warga sekitar agar lolos ke parlemen.

Dosen Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Muhammad Beni Saputra, menganggap pemilu demokratis di Indonesia serupa dengan bisnis. Mereka yang mau maju sebagai kepala daerah, anggota DPR, atau bahkan presiden harus bermodalkan Rp20 juta sampai dengan Rp7 triliun. Angka ini tentu tidak bisa diraih masyarakat kelas menengah ke bawah Indonesia yang rata-rata penghasilannya hanya Rp47 juta/tahun.

Dalam tulisannya di The Diplomat, Beni menyebut janji Reformasi, yang menjamin politik untuk semua warga negara, terbukti hanya ilusi belaka. Kenyataannya, politik Indonesia masih terbatas pada kelompok elite.

Pencalonan Gibran adalah salah satu buktinya. Posisinya sebagai anak presiden dan pebisnis sukses mempermudah pencalonan. Sebagian orang, utamanya Achmad yang tidak terpilih oleh PDIP, meyakini itu. Sayang, Gibran tidak sadar, atau mungkin pura-pura tidak sadar, akan keistimewaan itu dan malah melanggengkannya.

"Jadi, tidak ada kewajiban untuk mencoblos saya. [Pilkada] ini kan kontestasi, bukan penunjukan. Jadi, kalau yang namanya dinasti politik, di mana dinasti politiknya? Saya juga bingung kalau orang bertanya seperti itu," kata Gibran dalam diskusi virtual bertajuk "Anak Muda Berpolitik, Siapa Takut, Jumat (24/7/2020).

sumber: Tirto