Laporan penelitian ini mengungkap berbagai persoalan lingkungan dan sosial yang ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan kehutanan industri (HTI) di Provinsi Riau.
Diskusi peluncuran laporan yang digelar di Pekanbaru ini menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional yang membahas tema “Dampak Eksploitasi Ekstraktif di Sektor Kehutanan: Krisis Iklim dan Ketidakadilan Sosial”, serta Susanto Kurniawan, peneliti WALHI Riau yang memaparkan langsung temuan penelitian di lapangan.
Hadir pula Solikhin, perwakilan masyarakat dari Desa Batu Panjang, Kepulauan Meranti, yang turut memberikan kesaksian mengenai dampak sosial dari aktivitas perusahaan di wilayahnya. Diskusi dipandu oleh Umi Ma’rufah selaku moderator.Industri Global, Krisis di Tapak
Penelitian WALHI Riau menyoroti peran PT Sumatera Riang Lestari (SRL) yang menjadi pemasok utama bahan baku kayu bagi APRIL Group dan PT Asia Pacific Rayon (APR). Menurut WALHI, berbagai persoalan yang melekat pada operasional PT SRL menjadi catatan serius bagi APR, mengingat bahan baku yang mereka gunakan berasal dari kawasan yang menyisakan konflik dan kerusakan ekosistem.
“Rantai pasok yang diklaim berkelanjutan tidak boleh menutup mata dari kenyataan di lapangan,” ujar Santo Kurniawan dalam pemaparannya. “Kami menemukan indikasi kuat adanya degradasi lingkungan dan ketidakadilan sosial yang terjadi akibat ekspansi industri kehutanan.”
Tantangan terhadap Komitmen Keberlanjutan
WALHI Riau menilai bahwa temuan tersebut menimbulkan pertanyaan besar terhadap komitmen keberlanjutan yang selama ini digaungkan oleh APRIL Group dan induk perusahaannya, Royal Golden Eagle (RGE).
“Berbagai persoalan di lapangan ini menjadi ujian serius terhadap visi 5C yang kerap mereka kampanyekan — Good for the Community, Good for the Country, Good for the Climate, Good for the Customer, and only then will it be good for the Company,” demikian tertulis dalam laporan.
WALHI menegaskan, jika praktik di tingkat tapak justru memunculkan krisis ekologis dan konflik sosial, maka klaim keberlanjutan tersebut harus ditinjau ulang.
Suara dari Masyarakat
Dalam sesi testimoni, Solikhin dari Desa Batu Panjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, mengungkapkan bahwa masyarakat setempat telah lama merasakan dampak langsung dari aktivitas perusahaan HTI.
“Kami kehilangan sumber air bersih dan ruang hidup kami semakin sempit. Hutan yang dulu jadi tempat kami mencari nafkah kini tinggal cerita,” ujarnya dengan nada lirih.
Dorongan Reformasi Tata Kelola
Melalui peluncuran laporan ini, WALHI Riau menyerukan perlunya reformasi tata kelola industri kehutanan di Indonesia, khususnya di Riau, agar praktik produksi yang diklaim berkelanjutan benar-benar mencerminkan keadilan ekologis dan perlindungan hak-hak masyarakat.
“Industri pulp dan rayon memang menjadikan Indonesia sebagai pemain global, tetapi harus diingat, keberlanjutan sejati tidak bisa dibangun di atas penderitaan masyarakat dan kerusakan alam,” tegas Uli Arta Siagian.
Penutup
Laporan “Ada Noda di Bajumu” menjadi peringatan bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat luas untuk meninjau kembali model bisnis ekstraktif yang merusak ekosistem dan merampas ruang hidup warga. WALHI berharap, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi seluruh pihak agar praktik industri di Riau berjalan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan ekologis.***(mar)