BERITA TERKINI – Sekretaris Badan Bantuan Hukum (BBH) Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), H Maryanto sedikit menyindir berbagai pihak terkait banyaknya perawat yang belum menerima tunjangan hari raya (THR). PPNI mengimbau pemberi kerja menghargai perwat dengan satu langkah nyata.
“Katanya perawat adalah pahlawan kemanusiaan, tolong direalisasikan (membayar THR) kepada anggota-anggota kami yang ada di seluruh Indonesia ini,” ujar Maryanto, saat webinar PPNI di akun YouTube PPNI, Sabtu (23/5).
Maryanto menjelaskan, pihaknya telah membuka posko pengaduan sejak 15 Mei 2020 lalu. Hingga Sabtu pagi, sudah ada sebanyak 310 aduan yang masuk.
Hasilnya, 60 persen fasilitas kesehatan belum memberikan THR kepada para perawatnya. “Kemudian, THR yang tidak dibayar penuh mendekati 30 persen, lain-lain 8,4 persen, dan terlambat membayar 2,3 persen,” ujarnya.
Bahkan, dari jumlah RS yang belum merealisasikan THR perawat, 63 persen di antanya adalah milik pemerintah. Sementara, RS swasta tidak sampai 40 persen.
Bahkan, jangankan membayar THR, ternyata 39,7 persen dari jumlah RS tersebut memotong upah perawatnya. “Jadi jangankan THR, upah saja dipotong,” ujarnya.
PPNI juga mendapatkan laporan ada RS di salah satu wilayah Tangerang, Banten, kabupaten/kota di Jawa Tengah, hingga wilayah Aceh yang bahkan tidak memberikan THR sejak 2016 dan 2017 lalu. Untuk tahun ini, kebanyak RS yang belum memberikan THR beralasan karena sedang terjadi pandemi Covid-19.
Dilihat dari statusnya, 63 persen perawat yang berstatus karyawan tetap tidak mendapat THR. Sementara perawat kontrak kurang dari 40 persen.
Ia menegaskan, dalam perspektif Undang-undang (UU) nomor 13 dan diperkuat dengan peraturan menteri ketenagakerjaan nomor 06 tahun 2016, tunjangan THR wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja. Karena itu, ia meminta pemberi kerja atau perusahaan jasa layanan kesehatan tersebut tidak lalai memberikan THR hingga Idul Fitri, Ahad (24/5).
Kalaupun kondisi keuangan RS terkendala akibat pandemi, sudah ada surat edaran menteri tenaga kerja yang memberikan kelonggaran. Pembayaran tunjangan keagamaan tahunan itu boleh dibayar dengan cara dicicil atau dibayar separuh.
“Ini belum pernah ada di kondisi sebelumnya, tetapi di surat edaran ini juga menyatakan tidak boleh melanggar aturan lebih tinggi,” ujarnya.
Setiap penundaan pembayaran THR juga harus diiringi dengan dialog antara pemberi kerja dengan penerima kerja. Termasuk berapa cashflow yang masuk dan keluar. Atau apakah benar rumah sakit itu memang tidak punya uang.
“Ini harus dikomunikasikan dengan penerima kerja,” katanya.
Jika lalai, maka RS terkait akan dikenakan denda membayar 5 persen dari total THR keagamaan yang harus dibayarkan. Denda itu akan kembali digunakan untuk pekerja.
Selain itu, pemberi kerja tetap harus membayar THR karena pengenaan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR.
“Laporan ini kami tutup H+7 lebaran karena masih menunggu rekan-rekan yang ada di daerah lain untuk menyuarakan melalui sistem online aduan ini,” katanya.
Partner Sindikasi Konten: REPUBLIKA.CO.ID