Berita Terkini, PEKANBARU - Puluhan anak muda lakukan aksi di depan Kantor Gubernur Riau, Jumat (3/3/2023) lalu. Aksi ini merupakan aksi serentak di berbagai kota guna meyerukan situasi krisis global, krisis iklim. Aksi anak muda yang tergabung dalam gerakan Global Climate Strike (GCS) ini menolak menjadi korban krisis iklim.
Aksi ini diikuti kelompok mahasiswa, organisasi masyarakat sipil dan anak muda Riau lainnya yang terdiri dari Extinction Rebellion (XR) Riau, WALHI Riau, KPA EMC², BDPN, IMKD, Greenomos, Mapala Wanapalhi, Mapala Suska, dan Mapala Umri. Anak muda Riau menyampaikan dampak buruk krisis iklim sudah sangat nyata dirasakan oleh masyarakat Riau.
Zainal Arifin, Ketua BDPN menyampaikan bahwa dampak krisis iklim sudah dirasakan oleh berbagai kalangan masyarakat, khususnya petani dan nelayan. Ia mencontohkan petani kelapa Kabupaten Indragiri Hilir sebagai korban dampak buruk krisis iklim.
“Rusaknya ± 2.400 hektar perkebunan kelapa akibat intrusi air laut mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan para petani Kecamatan Tanah Merah dan Keteman,” kata Zainal.
Secara nasional, ada tiga tuntutan anak muda Indonesia: 1) Indonesia deklarasikan darurat iklim segera; 2) Keadilan iklim harus jadi agenda prioritas pada Pemilu 2024; dan 3) Generasi muda menolak solusi iklim palsu. Sedangkan anak muda Riau menyuarakan krisis iklim dengan kaitan isu lokal, di antaranya: selamatkan pesisir dan pulau kecil; tekan pemanasan global hingga 1,5°; hentikan Riau sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca; hentikan food estate; hentikan alih fungsi lahan; selamatkan perkebunan kelapa rakyat; dan cabut Perppu Cipta Kerja
Rina Noviana, koordinator aksi, menyebut krisis iklim adalah ancaman besar bagi seluruh kehidupan makhluk di Bumi. Saatnya masyarakat, khususnya anak muda berkonsolidasi dan menuntut pemerintah untuk menghadirkan solusi yang tepat dan ambisius untuk menyelamatkan kehidupan masyarakat.
“Pada aksi ini, kami anak muda Riau mengecam segala tindakan pemerintah yang terus menggerus masa depan kaum muda dan generasi yang akan datang melalui sistem ekonomi politik yang tidak mengedepankan keadilan ekologis. Kami juga mengajak seluruh anak muda bergerak bersama menyuarakan keadilan iklim di Riau. Kami juga menuntut pemerintah untuk segera melakukan tindakan pengendalian krisis iklim tanpa menghadirkan solusi palsu. STOP SOLUSI PALSU!” tegad Rina.
Selanjutnya, Rezki Andika, Koordinator Relawan Pengorganisasian WALHI Riau, mengatakan bahwa krisis iklim kian mengancam kehidupan manusia dan subjek ekologis lainnya. Dampak buruk krisis iklim sudah nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Provinsi Riau dan diperparah oleh Perppu Cipta Kerja.
“Hujan yang membersamai aksi kita pada aksi hari ini merupakan wujud cuaca ekstrim akibat krisis iklim. Kemudian berkurangnya keanakaragaman hayati, bencana ekologis, bahkan dampak buruk krisis iklim juga mengancam sumber kehidupan masyarakat. Lebih paranya lagi, Presiden Joko Widodo menambah ancaman krisis iklim dengan menerbitkan Perpuu Cipta Kerja.”
Pasal 110A dan 110B Perpuu Nomor 2 tahun 2022 (Perpuu Cipta Kerja) yang “melegalkan” kejahatan pelanggaran kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan memberikan kelonggaran bagi pelaku usaha, termasuk di bidang perkebunan kelapa sawit. Aturan yang sudah jelas ditolak oleh kelompok masyarakat sipil kembali dimuat dalam Perppu Nomor 2/2022. Pemerintah menyampaikan bahwa urgensi penerbitan perppu yang salah satunya menyebut dinamika perubahan iklim. Namun faktanya rumusan norma tersebut hanya menguntungkan perusahaan dan pekebun skala besar sekaligus memperparah kerusakan lingkungan hingga menaruh Indonesia di bawah ancaman krisis iklim.
“Dampak buruk krisis iklim sudah di depan mata dan mengancam kehidupan. Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka bisa dipastikan kehidupan generasi berikutnya akan lebih parah. Tugas kita sebagai generasi saat ini adalah menjamin kehidupan yang layak bagi generasi penerus. Wujudkan keadilan iklim demi kaeadilan antargenerasi!” tutup Rezeki.***