Rizal Ramli: Pemerintahan Jokowi Makin Condong ke China

Rizal Ramli: Pemerintahan Jokowi Makin Condong ke China

Berita Terkini -  Pakar Ekonomi Kenamaan Rizal Ramli menyebut, segala kebijakan pemerintahan era Joko Widodo saat ini condong ke Tiongkok. Menurutnya, ini tak sesuai dengan politik luar negeri Indonesia yang bersifat bebas aktif.

Berdasarkan politik luar negeri bebas dan aktif, Indonesia berhak menentukan arah, sikap, dan keinginannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Dengan demikian, tidak dapat dipengaruhi kebijakan politik luar negeri negara lain.

"Saya mohon maaf, hari ini pemerintahan Pak Widodo (Joko Widodo) makin lama makin condong ke China (Tiongkok)," katanya usai menjadi pembicara pada Seminar Nasional dan Launching Madrasah Demokrasi Ikatan DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jateng Periode 2018-2020, di Aula NRC Universitas Muhammadiyah Semarang, Jumat (15/3).

"Kita harus bersahabat dengan China, negara besar. Tapi, banyak dari kebijakannya itu yang sangat condong untuk China. Itulah kenapa kita memerlukan perubahan, untuk mengembalikan maksud dan tujuan dari UUD kita. Bahwa Indonesia di kawasan ini harus netral, bebas aktif, memperjuangkan perdamaian dan prosperity," tambahnya.

Rizal tak membeberkan kebijakan apa yang dimaksud condong ke Tiongkok itu. Dirinya hanya mencontohkan potensi dari tindakan pemerintah tersebut.

Kedekatan Indonesia dengan Tiongkok ditakutkan Rizal salah satunya nanti bakal ada kerja sama proyek-proyek antar dua negara itu. Yang dikhawatirkannya, adalah nilai proyek yang terlalu mahal.

Kemudian, ia mencontohkan negara Sri Lanka. Pada tahun 2017 silam, negara pulau di sebelah utara Samudera Hindia harus itu merelakan pelabuhannya, Hambantota dikelola Tiongkok. Akibat pembangunannya dilakukan dengan cara mengutang kepada Negeri Tirai Bambu dan ujung-ujungnya tidak bisa membayar hutangnya.

"(Dikelola selama) lebih dari 99 atau 100 tahun. Akhirnya itu kan kaya Hongkong lama-lama," paparnya. 

Rizal menegaskan, Indonesia wajib lepas dari permainan macam itu. Dengan cara tak memberikan sedikitpun kesempatan pada para negara adidaya menguasai jalur strategis maritim Indonesia.

Dirinya pun membagikan pengalamannya kala menjadi Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Katanya, waktu itu dirinya tak memerkenankan negara adidaya untuk menguasai pelabuhan-pelabuhan yang berpotensi jadi choke point. 

Choke point sendiri bisa diartikan sebagai titik sempit atau strategis di daratan berupa lembah, defile atau jembatan, atau selat yang harus dilalui sebuah pasukan untuk mencapai tujuannya. Biasanya dengan bentuk mencorong di depan sehingga mengurangi kemampuan tempur pasukan tersebut.

"Misalnya ini kan Selat Malaka, banyak yang mau untuk bikin pelabuhan besar di situ. Ya Amerika, ya China, ya kita nggak kasih. Karena kita nggak ingin, alur choke point kita satu lewat Selat Malaka, dua Selat Lombok, satu lagi di timur, tiga jalur ini kita nggak boleh kasih kesempatan untuk asing menguasai," katanya.

"Mudah-mudahan pemerintahan baru yang akan datang, akan me-review hal-hal yang dilakukan, kebijakan yang terlalu pro-Beijing yang hari ini dilakukan oleh pemerintah," pungkasnya. [jp]