Momentum yang Sirna Bila Prabowo Dikalahkan

Momentum yang Sirna Bila Prabowo Dikalahkan

Oleh: Gede Sandra

BERDASARKAN keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sepuluh hari lalu, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sudah kalah dari Joko Widodo-Maruf Amin.

Meskipun saat ini gugatan sengketa Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK) sudah didaftarkan, tetapi kemungkinan nanti (24 Juni 2019) hasilnya berbalik -sehingga memenangkan Prabowo- sangatlah kecil.
  
Momentum Mengejar Kemakmuran

Bila akhirnya kemenangan Widodo dipertahankan oleh keputusan MK, maka dapat dipastikan perekonomian Indonesia lima tahun ke depan tetap akan melaju seperti lima tahun sebelumnya. Pertumbuhan akan tetap 5 persen, medioker, di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Pasifik sebesar 6,4 persen. 

Dengan kita cepat berpuas diri dengan pertumbuhan ekonomi 5 persen, seperti posisi Widodo saat ini, dan mempertahankan angka pertumbuhan tersebut sebagai capaian maksimal, maka hingga tahun 2045 -tepat 100 tahun Kemerdekaan- pendapatan perkapita Indonesia masih belum mencapai standar kemakmuran negara maju sebesar 12.000 dolar AS. 

Setelah saya simulasikan, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi tetap 5 persen dan pertumbuhan populasi tetap 1,1 persen, maka pendapatan perkapita Indonesia tahun 2045 hanya sebesar 11.103 dolar AS (dari akhir tahun 2018:3.996 dolar AS). 

Menggunakan simulasi yang sama, saya lakukan terhadap Vietnam dan Filipina, yang saat ini pendapatan perkapita keduanya masih di bawah Indonesia, berturut-turut: 2.712 dolar AS dan 3.106 dolar AS. 

Untuk Vietnam, saya asumsikan pertumbuhan ekonominya tetap 7,4 persen dan pertumbuhan populasinya 0,97 persen, maka pada tahun 2038 pendapatan perkapitanya berhasil menyalip Indonesia (Vietnam: 8.764 dolar AS, Indonesia: 8.519 dolar AS) dan pada tahun 2045 pendapatan perkapitanya sudah 13.503 dolar AS, masuk kategori standar negara maju. 

Untuk Filipina, saya asumsikan pertumbuhan ekonominya tetap 6,8 persen dan pertumbuhan populasinya 1,5 persen, maka pada tahun 2038 pendapatan perkapitanya juga menyalip Indonesia (Filipina: 8.596 dolar AS, Indonesia: 8.519 dolar AS) dan pada tahun 2045 pendapatan perkapitanya sudah 12.276 dolar AS, juga masuk kategori standar negara maju.

Artinya dengan pertumbuhan ekonomi 5 persesn ala Widodo, 20 tahun lagi tingkat kemakmuran Indonesia akan disalip Vietnam dan Filipina, dan pada tahun 2045 Indonesia belum masuk kategori negara maju. Kubur saja mimpi-mimpi Indonesia Emas di tahun 2045. “Jembatan emas” yang dicita-citakan Bung Karno ternyata belum berhasil menyambungkan Bangsa Indonesia menuju kemakmuran di usianya yang ke-100.

Akan sangat berbeda bila seandainya Prabowo yang menang. Melalui tim pakar ekonominya (yang memiliki kredibilitas untuk memacu pertumbuhan tinggi), Prabowo berjanji mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen selama tiga tahun pertama, dan 10 persen (double digit) di sisa pemerintahannya. 

Apa yang dikerjakan Prabowo selama lima tahun pertamanya tersebut akan menjadi pondasi bagi pemerintahan-pemerintahan berikutnya untuk melanjutkan pertumbuhan double digit hingga setidaknya 10 tahun berikutnya, mengikuti keberhasilan Tiongkok dan Jepang di masa lalu. 

Dengan simulasi yang sama, diasumsikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tiga tahun pertama (2020-2022) sebesar 8 persen dan 12 tahun setelahnya (2023-2035) 10 persen, maka pada tahun 2033 pendapatan perkapita Indonesia sebesar 12.798 dolar AS, sudah masuk kategori negara maju.

Bila Prabowo akhirnya dikalahkan, maka momentum Indonesia untuk cepat mengejar ketertinggalannya -dalam aspek kemakmuran- dari negara maju menjadi sirna. Bangsa Indonesia harus menunda (mungkin) lima tahun lagi untuk mendapatkan kembali momentum tersebut.                             
Momentum Mencapai Keadilan

Kemakmuran tanpa keadilan hanya menghasilkan ketimpangan. Dalam salah satu sesi debat yang disiarkan di televisi, Prabowo berjanji bila menang, dalam tempo kurang dari 10 hari setelah dilantik, akan menyerahkan kepada Negara mayoritas kepemilikan atas seluruh aset dan bisnisndiya (termasuk HGU lahan yang sempat menjadi polemik). 

Ini jelas adalah sebuah komitmen yang agak “ekstrim” dari seorang pemimpin, sekaligus meruntuhkan tuduhan bahwa Prabowo mewakili kelompok elit 1 persen terkaya di Indonesia atau nasionalis sayap “kanan” semacam Trump di AS. Jelas ini bukan sekedar aksi filantropis recehan dari kalangan elit, tapi merupakan sebuah aksi revolusioner seorang pejuang yang sungguh-sungguh rela berkorban untuk menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Dapat dibayangkan bila para elit terkaya, taipan, mengikuti jejak Prabowo, menyerahkan mayoritas asetnya kepada negara (yang tak akan mungkin terjadi hingga kiamat, kecuali dipaksa negara), betapa cepat terjadinya keadilan dan pemerataan di Indonesia. 

Sempat tercetus juga di acara debat, penerapan Pasal 33 UUD 1945 (dalam aspek Reforma Agraria) yang sesuai pandangan Prabowo bukanlah membagi-bagi (desentralisasi) lahan milik negara atau swasta kepada rakyat, sehingga kemudian produksi menjadi kurang efisien, melainkan melibatkan rakyat dalam suatu usaha bersama produksi di atas lahan (milik negara atau milik swasta yang dikuasai negara) yang tersentralisasi di bawah kendali badan usaha (bisa koperasi atau korporasi) milik negara. 

Posisi politik Prabowo yang terlampau ekstrim inilah yang mungkin menimbulkan kegetiran di kalangan elit-elit 1 persen terkaya, sehingga para taipan pemilik lahan-lahan raksasa akhirnya  ramai-ramai mendukung Widodo dengan segala cara dan berapapun biayanya.
Untuk menciptakan kebijakan yang dapat memberikan keadilan seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia, Prabowo kembali mengandalkan tim pakar ekonominya. 

Tim pakar ekonomi Prabowo memiliki rekam jejak memimpin tim ekonomi pemerintahan Gus Dur mencapai tingkat keadilan, yang diwakili oleh indikator pemerataan pendapatan Gini Ratio (nilainya kisaran 0-1, mendekati 0 semakin merata, mendekati 1 semakin timpang) yang terendah sepanjang sejarah Indonesia. 

Pada era pemerintahan Gus Dur yang hanya 21 bulan, Gini Ratio Indonesia pernah turun hingga menyentuh angka 0,31 di tahun 2001 dari sebelumnya sebesar 0,37 di tahun 1999. Bandingkan dengan angka Gini Ratio di era Jokowi sekarang yang masih sebesar 0,384, tapi kita dengar para pejabat tim ekonomi sudah membangga-banggakannya. 

Untuk diketahui, negeri-negeri dengan tingkat jaminan sosial yang paling prima di dunia (tentu dengan tingkat pajak progresif penghasilan sangat tinggi) seperti di Skandinavia dan Eropa Barat, indeks Gini Ratio mereka di bawah 0,3. Artinya prestasi indeks Gini Ratio 0,31 di era Gus Dur nyaris membawa Indonesia ke jajaran negara-negara yang sangat beradab dan bahagia (empat negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi berada di Skandinavia). 

Salah satu terobosan besar yang pernah dilakukan tim pakar ekonomi Prabowo pada era Gus Dur -sehingga mampu menurunkan indeks Gini Ratio dengan sangat drastis sekaligus memompa pertumbuhan ekonomi dari minus menjadi positif 4,5 persen- adalah dengan menaikkan gaji pegawai negeri sebesar rata-rata 124 persen (untuk pegawai negeri golongan rendah kenaikkannya bahkan mencapai 200 persen). 

Sungguh bagaikan bumi dan langit bila hendak dibandingkan dengan prestasi Widodo yang sangat pelit (karena tim ekonominya menganut resep austerity policy dari paham neoliberal) dalam menaikkan gaji pegawai negeri, yang setelah empat tahun pemerintahan hanya naik 5 persen -besaran ini bahkan tidak cukup mengimpasi kenaikan harga barang akibat inflasi sebesar rata-rata tiga persen pertahun, atau 12 persen selama empat tahun. Artinya, dengan berbasis inflasi saja, tingkat kenaikan gaji pegawai negeri sebenarnya masih defisit/merugi sebesar -7 persen (12 persen - 5 persen).

Salah satu rencana kebijakan pro-keadilan yang terpenting dari tim pakar ekonomi Prabowo, bila menang, adalah mengubah struktur kredit yang timpang. Selama ini sekitar 83 persen kredit perbankan mengalir ke bisnis besar: 200 keluarga taipan/perusahaan swasta terkaya dan 100 BUMN terbesar, sementara 17 persen kredit sisanya harus dibagi ke jutaan bisnis usaha kecil dan menengah yang menaungi puluhan juta rakyat Indonesia. 

Yang akan dilakukan tim pakar ekonomi Prabowo adalah memaksa agar bisnis besar mengurangi ketergantungannya terhadap kredit perbankan, karena mereka dapat mencari pendanaan dari sumber yang lain seperti menerbitkan obligasi atau menjual saham. 

Diharapkan nanti porsinya kredit perbankan untuk bisnis usaha kecil dan menengah rakyat dapat naik dari 17 persen ke sekurangnya 50 persen. 

Jutaan bisnis rakyat yang awalnya tipis dan ringkih, akan menggemuk dan kokoh sehingga mampu menopang struktur perekonomian sehingga lebih sehat. Dengan langkah terobosan ini, selain dapat secara efektif menurunkan ketimpangan pendapatan, juga akan menciptakan lapangan kerja sekaligus mengurangi kemiskinan, menciptakan keadilan keuangan, juga dapat memacu pertumbuhan ekonomi secara signifikan. 

Dan masih banyak rencana-rencana kebijakan lainnya yang juga pro terhadap keadilan, yang tak dapat diungkap di tulisan ini.   

Namun, bila akhirnya Prabowo dikalahkan, momentum bagi rakyat Indonesia untuk dapat mencapai keadilan yang seluas-luasnya -agar sejajar dengan rakyat di negara-negara paling bahagia di dunia- menjadi sirna. 

Rakyat Indonesia kembali harus menunda (mungkin) lima tahun lagi untuk mendapatkan kembali momentum tersebut. []