Pemimpin Ambyar Rakyat pun Buyar

Henyk Nur Widaryanti

Oleh Henyk Nur Widaryanti

Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang memahami tujuannya menjadi pemimpin. Mereka adalah tempat rakyat mengadu. Tempat rakyat berkeluh kesah. Dan tempat meminta perlindungan dunia. Lantas bagaimana jika pemimpinnya justru malah silang pendapat? Rakyat yang melihat hanya bisa gigit jari.

Kali ini Gubernur Anies Baswedan menjadi bulan-bulanan beberapa menteri. Sebut saja Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut Pemprov DKI Jakarta tidak memiliki anggaran untuk mendanai pendistribusian Bantuan Sosial (Bansos) kepada 1,1 juta warganya. Padahal, nyatanya bansos dari pemprov lebih dulu datang dari pada dari pusat.

Adalagi Menteri Sosial Juliari P Batubara yang menyatakan permasalahan data Bantuan Sosial yang semrawut. Ditambah Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang angkat bicara bahwa lockdown yang pernah diajukan oleh DKI Jakarta dan wilayah lainnya sebagai kebijakan yang konyol. (rmol.id,10/5/20)

Berulang kali kasus penyerangan terhadap tokoh terjadi. Di masa-masa sebelumnya pun kita sudah menyaksikan hal yang sama. Mulai dari penanganan kasus covid 19 ini saja terjadi tumpang tindih. Banyak kebijakan yang bertentangan atau tidak saling berjalan.

Menurut Ujang Komarudin, Pengamat Politik Universitas Al Azhar hal seperti ini terjadi bisa jadi karena pemerintah pusat merasa malu atau tersinggung dengan Gubernur Anies Baswedan. Dalam penanganan virus corona ini masyarakat menilai Anies jauh lebih positif kerjanya dari pada pemerintah pusat.

Tokoh lainnya yang mengomentari masalah ini adalah anggota Fraksi Demokrat DPRD DKI Jakarta, Mujiyono. Mujiyono mengomentari salah satu menteri yang mempersoalkan kebijakan lockdown adalah sesuatu yang konyol. Ia  menyebut menteri tersebut baru bangun tidur. Karena kalau mau mengulik masalah lockdown tentunya sudah basi. Apalagi saat ini DKI Jakarta sudah menjalani PSBB jilid 2.

Dari sini kita dapat melihat, adanya miss kepercayaan antara pemimpin. Baik pemimpin pusat maupun pemimpin daerah. Ketidaksinkronan kebijakan ini membuat khalayak kebingungan dalam menjalani kebijakan. Jadi wajar saja  jika rakyat kebingungan dan buyar. Mereka belum menemukan tokoh panutan yang bisa diandalkan.

Mengapa bisa demikian?

Selama ini rakyat menilai apa yang tampak dipermukaan. Kejadian saling serang terus berjalan dari waktu ke waktu. Dulu saat Ahok masih menjabat, upaya saling menjatuhkan pun terus dilontarkan. Atau mana kala pemilihan presiden 2019 kemarin, aktivitas tuduh menuduh menghiasi arena perhelatan akbar tersebut. Tidak saja sebelum pemilu, pasca pemilu pun perdebatan terus berlanjut.

Dan ini bisa jadi akan terus berlanjut hingga apa yang mereka inginkan tercapai. Mereka ingin membuka borok lawan ataukah sekadar mencari keuntungan dan dukungan  masyarakat. Aktivitas saling sindir ini nampak sekali dilakukan bukan untuk mengoreksi penguasa atau pemimpin. Tapi untuk menjatuhkan nama mereka. Walhasil motif kepentingan menjadi tujuan utama. Sayangnya bukan kepentingan rakyat. Tapi bisa jadi kepentingan orang-orang tertentu yang memang memiliki pengaruh di sana. Untuk mencari dukungan di pilpres atau pilgub selanjutnya, itu bisa jadi.

Kepercayaan adalah kunci

Menjadi seorang pemimpin itu kuncinya adalah kepercayaan. Baik pemimpin percaya dengan bawahannya bahkan rakyatnya. Atau rakyat percaya dengan pemimpinnya. Rakyat akan percaya dengan pemimpin mana kala mereka mampu mengayomi kebutuhan rakyat. Mampu memenuhi keperluan dan memberikan rasa aman dan nyaman pada rakyatnya.

Mereka tidak terkesan plin-plan dalam menyelesaikan masalah. Juga tak saling lempar tanggung jawab. Atau bahkan saling menyalahkan. Pemimpin yang baik akan memahami tanggung jawabnya mengurusi rakyat. Bahkan ia tak akan rela membawa rakyatnya pada jurang penderitaan.

Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang senantiasa bersikap tawadlu. Menjaga setiap ucapan dan perilakunya dari kemaksiatan. Ia akan tunduk kepada Sang Pemberi Kehidupan. Baginya keridhoan Allah di atas segala-galanya. Dengan dorongan takwa inilah, ia mampu mengayomi rakyat dan bawahannya. Sehingga akan terwujud rasa saling percaya, saling menguatkan, dan bekerja sama menghadapi masalah yang ada.

Pemimpin berkualitas hanya lahir dari sistem sehat

Mengharapkan pemimpin yang dapat mengayomi rakyat tentunya bukan sekadar mengandalkan kepribadiannya. Karena bisa jadi kepribadian bagus, tapi ketika masuk pada sistem kepemimpinan yang buruk justru berubah menjadi buruk. Saat ini kita banyak menemui orang-orang baik yang masuk dalam sistem pemerintahan. Namun, tak selang beberapa lama mereka justru berubah. Bisa jadi bukan mereka yang ingin berubah, tapi lingkungan atau sistem yang membuat mereka berubah.

Maka, jika kita ingin mendapatkan pemimpin yang berkualitas. Perlu juga kita buat lingkungan atau sistem yang sehat. Sistem yang sehat bukanlah sistem buatan manusia. Yang hanya mengandalkan akal yang lemah. Sistem atau lingkungan yang berlandaskan keimanan akan menjaga orang-orang di dalamnya saling menjaga dan mengingatkan. Sehingga, para pemimpin akan konsisten dalam memenuhi kebutuhan rakyat dan mengayomi negara. Wallahu a‘lam bishowab.