Pemindahan Ibukota Tidak Otomatis Ubah Kekhususan Jakarta

Pemindahan Ibukota Tidak Otomatis Ubah Kekhususan Jakarta
BERITA TERKINI - Keputusan Presiden Joko Widodo memindahkan ibukota negara dari Jakarta ke sebagian Kabupaten Penajam Pasir Utara dan Kabupaten Kutai Kartenagara, Kalimantan Timur adalah tepat.

Pakar hukum tata negara, Fahri Bachmid mengatakan pemindahan ibukota tersebut merupakan suatu kebijakan hukum yang sangat futuristik bagi masa depan Indonesia, khususnya bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan yang lebih modern.

Menurut Fahri, konsekuwensi dari pemidahan ibukota tersebut secara teknis maka seluruh lembaga negara utama harus ikut dipindahkan pada ibukota baru karena hal itu merupakan organ kontitusional. Misalnya, kanton kepresidenan, DPR, DPD, MPR, MK, MA, BPK dan KPU.

Selai itu, bergabagi peraturan perundang-undangan, baik yang bersifat organik maupun sektoral juga yang harus diperbaharui sepanjang yang berkaitan dengan status badan, lembaga yang berkaitan dengan ibukota negara.

"Tetapi itu adalah hal yang sifatnya teknis dan tidak berat untuk dikerjakan. Itu yang merupakan implikasi teknis ketatanegaraan," ujar Fahri dalam keterangan tertulis, Rabu (28/8).

Fahri juga menyampaikan sejarah penamaan awal mula ibukota. Disebutkan, penamaan Daerah Khusus Ibukota pertama kali tertuang dalam Perpres 2/1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya yang kemudian menjadi UU PNPS 2/1961.

Menurut dia, dalam konsideransnya, Presiden Soekarno menyatakan Jakarta Raya sebagai Ibukota Negara dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan dan kota cita-cita bagi seluruh bangsa Indonesia, sehingga harus perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota internasional sesegera mungkin.

"Landasan yuridis berikutnya adalah UU 10/1964. Undang-undang ini pun hanya berisi dua pasal yang menegaskan status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibukota serta masa berlaku surutnya dari 22 Juni 1964, yaitu sejak Presiden Soekarno mengumumkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai ibukota negara dengan nama Jakarta," tandas dia.

Namun, menurut Fahri, ketika orde baru berkuasa Presiden Soeharto mencabut kedua UU tersebut dengan mengundangkan UU 11/1990 tentang susunan pemerintahan, meskipun pada masa Soekarno pada bagian pertimbangan dan penjelasan umum UU 10/1964 ditegaskan bahwa Jakarta sebagai kota pencetusan proklamasi dan pusat penggerak segala kegiatan dan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi dan penyebar ideologi Pancasila ke seluruh dunia.

"Dalam konsideransinya disebutkan Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki kedudukan dan peranan penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia," katanya.

Hanya apa yang pernah diubah Presiden Soeharto tersebut, Fahri melanjutkan, pada saat reformasi tahun 1998, Presidan Habibie mengubah kembali payung hukum DKI Jakarta melalui UU 34/1999. Menurut dia, UU itu mempertegas kekhususan Jakarta karena statusnya sebagai ibu kota negara. Demikian pula ketika era Presidan Susilo Bambang Yudhoyono yang melahirkan UU 29/2007.

Menurut Fahri, dari sisi ilmu hukum tata negara, perubahan ibukota ke kota lain tak otomatis mengubah kekhususan Jakarta, sebab secara teoritik tergantung pilihan politik hukum dari para pembentuk UU.

"Artinya bisa saja tetap diberikan status khusus dalam bentuk lain, misalnya terkait alasan-alasan historis sebagai bekas ibukota Batavia, atau karena Jakarta merupakan bekas ibukota negara, atau alasan-alasan khusus lainya yang secara faktual dapat diterima sebagai "legal reasoning" bahwa Jakarta diberikan status khusus oleh UU dan secara hukum tata negara dapat diterima. Jadi itu tergantung politik hukum pembentuk UU," tambah Fahri.

Argumen hukum tersebut dapat merujuk pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahu 1945. Selama memiliki status khusus atau istimewa berdasarkan UU, secara konstitusional Jakarta bisa jadi tidak akan mengalami banyak perubahan dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Dan hal ini dapat dibandingkan dengan keistimewaan Yogyakarta dan Aceh karena pertimbangan sejarahnya.

"Sehingga secara teoritik saya berpendapat bahwa Jakarta layak tetap menyandang status khusus atau istimewa sebagai bekas ibukota negara nantinya," tukas Fahri.

Dalam konstitusi, Fahri menyebut setidaknya ada dua pasal yang menyinggung tentang ibukota negara. Hal tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 2 ayat (2)  dan Pasal 23G ayat (1) UUD 1945. Menurut dia, sejarah ketatanegaraan yang berkaitan dengan pemindahan ibukota negara setidaknya pernah beberapa kali ibukota negara dipindahkan, walaupun secara konstitusional harus dibaca dalam kerangka serta konteks darurat negara, yaitu dari Jakarta ke Yogjakarta dan ketika Presiden Soekarno memberikan surat kuasa kepada Safruddin Prawiranegara untuk mendirikan pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatera Barat.

"Secara konstitusional berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (1) dan ketentuan pasal 25A UUD 1945 presiden sebagai kepala negara mempunyai kewenangan konstitusional untuk menyatakan pemindahan ibukota negara RI, yang selanjutnya akan dibahas secara operasional dalam bentuk pengajuan RUU terkait pemindahan itu beserta segala akibat hukumnya, serta dilakukan penyelarasan serta perubahan atas berbagai UU terkait bersama dengan DPR," demikian Fahri. (Rmol)